Oleh Irfan S Awwas
dan Tim Ahli Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Rasul-Nya yang mulia, Muhammad Saw. Semoga kesejahteraan dilimpahkan Allah kepada para sahabat, keluarga serta orang-orang beriman yang mengikuti jejak beliau hingga yaumil kiamat.
Pada 23 Februari 2014, kami menerima surat dari WANTIMPRES (Dewan Pertimbangan Presiden) bidang hubungan antar agama, perihal undangan sebagai narasumber pertemuan terbatas. Beberapa hari kemudian menyusul pemberitahuan perubahan jadual pertemuan, yang semula akan diadakan Kamis 27 Februari 2014, diundur hingga Kamis 6 Maret 2014.
Sebagaimana termaktub dalam Kerangka Acuan Pertemuan Terbatas, topik bahasan adalah: “Peran Umat Beragama Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan.” Narasumber yang diundang, mewakili ormas masing-masing: Ismail Yusanto (HTI), Habib Muhsin Al Atas (FPI), Irfan S Awwas (Majelis Mujahidin), dan M. Jazir, ASP.
Tujuan kajian ini, sesuai kerangka acuan pertemuan terbatas, adalah:
-
Mengungkap informasi dan pendapat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disintegrasi sosial dan wawasan kebangsaan, terutama terkait dengan adanya konflik antar umat beragama.
-
Menggali informasi dan pendapat tentang pentingnya peran umat beragama dalam penguatan wawasan kebangsaan.
-
Menggali informasi dan pendapat tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan umat beragama untuk mencegah masuknya ideologi asing yang bertentangan dengan ideologi nasional.
Adanya inisiatif WANTIMPRES untuk berdialog dengan ormas Islam guna membicarakan problem umat beragama di Indonesia, tentu saja patut diapresiasi. Namun demikian, setidaknya ada 3 hal yang perlu dikritisi dari Kerangka Acuan Pertemuan ini antara lain:
Pertama, menyangkut pilihan narasumber. Membicarakan peran umat beragama tapi tidak menyertakan wakil ormas non Islam. Apakah undangan ini berangkat dari stigmatisasi radikal sebagaimana dihembuskan pihak asing?
Kadua, benar bahwa konflik antar umat beragama lebih banyak dipicu oleh faktor non doktrinal. Tapi tidak selalu konflik internal disebabkan oleh faktor pemahaman keagamaan, melainkan doktrin sesat. Contohnya Syi’ah dan Ahmadiyah. Problem Syi’ah dan Ahmadiyah di Indonesia harus dituntaskan, tidak boleh diambangkan karena menyangkut keamanan nasional.
Ketiga, asumsi munculnya upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengganti negara Pancasila dengan negara agama dan menggantikan NKRI dengan sistem agama yang dipahami secara sempit.
Kecurigaan sektarian terhadap cita-cita negara agama mestinya tidak menjadi pandangan dan opini WANTIMPRES. Boleh jadi, pandangan seperti ini akibat memahami Pancasila secara sempit dan keliru. Memahami Pancasila dalam perspektif demokrasi sekuler, jelas berbeda dengan memahami Pancasila dari perspektif agama Islam. Karena itu, diperlukan pencerahan paradigma agar negara RI tidak semakin jauh meninggalkan agama dan mengikuti sistem hidup anti agama.
Pandangan dan opini yang mencurigai Negara agama, sudah sering bahkan selalu dijadikan tameng perlindungan oleh kaum anti Syari’at Islam dan anti Tuhan di Indonesia. Sebagai contoh, pada Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlaku-kan?” Dalam pengantar redaksinya, Tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini mengaku bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis.
“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu.”
Halusinasi kaum Kristen terhadap Syari’at Islam terus dipropagandakan. Menurut mereka, penerapan Syari’at Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Sikap antipati mereka terhadap Syari’at Islam dapat ditelusuri ke belakang. Pada era 1970-1980-an para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda agama, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim. Termasuk di Provinsi Bali, sejumlah sekolah melarang siswi Muslimah mengenakan jilbab.
Menyerang upaya penerapan syari’at Islam sebagai setback ke masa barbar, atau akan teraniayanya non-Muslim, sungguh kekhawatiran laten dan klise yang dulu disuarakan oleh Latuharhary pada sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 29) dan muncul lagi pada petang 17 Agustus 1945, yakni tatkala ditengarai seorang opsir Jepang menyebarkan isu politik bahwa orang-orang Kristen Protestan dan Katolik dari Timur enggan bergabung manakala digunakan Mukadimah dan Batang Tubuh UUD 1945 hasil sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 45-46).
Faktanya, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan memenuhi aspirasi mereka), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu masih kuat memendam keinginan untuk melepaskan diri dari Indonesia. Kongres Papua, FKM, beberapa waktu lalu seolah iri kepada Timtim yang berhasil memisahkan diri dari NKRI.
Kritik Pancasila Dasar Negara?
Meyakini Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan sikap inkonsisten. TAP MPR XVIII Tahun 1998 mencabut P4 dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Sebelumnya TAP MPRS XXV/1966 mencantumkan Pancasila sebagai dasar Negara. Tetapi menurut UUD 1945 ps 29 ayat 1 menyatakan: Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan berdasarkan Pancasila. Dalam kaitan ini terjadi inkonsistensi dasar negara.
1. Dasar Negara mengacu pada Pembukaan UUD 45
Pada Pembukaan UUD 45alinea ke-4 disebutkan:…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea ke-4 Pembukaan UUD ’45 di atas menyebutkan bahwa dasar negara ada 4, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawarat-an / Perwakilan
Jika kita berpegang pada UUD ’45, maka negara RI sesungguhnya berdasarkan agama Islam. Sebab istilah Ketuhanan YME adalah konsep Islam, bukan konsep sekularis-me, demokrasi, ataupun liberalisme. Ketiga isme ini tidak mengenal Tuhan.
Oleh karena itu, menyatakan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dengan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai salah satu silanya adalah tindakan penyimpangan dari UUD ’45, karena tidak sesuai dengan teks Pembukaan UUD 1945.
2. Dasar Negara mengacu pada pasal 29 ayat (1).
Sesuai dengan teks pasal 29 ayat (1) menyebutkan: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas bahwa dasar Negara Republik Indnesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah tindakan penyimpangan dari UUD 45, karena tidak sesuai dengan teks pasal 29 ayat (1) di atas. Dengan adanya pasal 29 ayat (1) ini, maka dengan tegas dapat dipahami bahwa tidak ada dasar lain bagi Negara Republik Indonesia, kecuali Ketuhanan Yang Maha Esa saja.
Dengan demikian pasal 29 ayat (1) bertentangan dengan Pembukaan UUD 45. Karena itu, sebenarnya dasar Negara Republik Indonesia itu yang mana? Siapakah yang berhak menetapkan salah satunya? Hal ini menuntut keharusan pihak yang berwenang (MPR) untuk segera menyelenggarakan Sidang Umum atau Sidang Istimewa untuk menyelesaikan masalah ini.
Inkonsistensi dasar negara ini berdampak langsung pada pengamalan Pancasila yang bertentangan dengan konstitusi negara. Rezim orla pimpinan Soekarno mengimplementasi-kan Pancasila berbasis sinkretisme ideologi, yaitu Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang rezim orba, Soeharto mengamalkan Pancasila berbasis budaya yang memunculkan ideologi asas tunggal Pancasila. Di zaman reformasi, Pancasila digiring ke arah demokrasi liberal berdasarkan 4 pilar kebangsaan (Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Pancasila, dan UUD ’45). Apakah 4 pilar nasionalisme ini dipersiapkan sebagai pengganti doktrin asas tunggal Pancasila?
Nyaris kita tidak menemukan praktik Pancasila selaras dengan slogan digembar gemborkan sebagai pemersatu bangsa, pelindung warga negara. Mereka yang dianggap sebagai penggali dan pembela Pancasila, dalam praktiknya justru mengkhianati Pancasila. Buktinya, akhir rezim Soekarno berpuncak pada pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Begitupun rezim Soeharto berpuncak pada DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dan kerusuhan Mei 1998. Sedangkan di masa reformasi sekarang ini, hanya memproduksi koruptor serta pemiskinan structural. Inikah monumen pembangunan Pancasila yang diamalkan secara konsekuen itu?
Kedudukan Empat Pilar Negara RI
Pada pasal 25 A disebutkan: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang.
Kemudian MPR periode 2009-2014 merumuskan Empat Pilar Kebangsaan yaitu: 1. Pancasila 2. UUD 45 3. NKRI 4. Binneka Tunggal Ika.
Keempat pilar ini tidak pernah ada pada ketetapan MPR periode sebelumnya, bahkan juga tidak mempunyai landasan yang sah dari UUD 45. Pada pasal 25A telah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan. Jika begitu, apa kepentingannya menjadikan NKRI sebagai salah satu pilar Negara Republik Indonesia?
Selama ini Pancasila dianggap sebagai dasar Negara RI, kemudian MPR periode 2009-2014 menyatakan bahwa Pancasila sebagai salah satu dari pilar Negara. Bukankah keputusan ini bertentangan dengan anggapan umum selama ini? Bukankah hal ini berarti MPR telah merubah kedudukan Pancasila sebagai dasar negara menjadi sekedar pilar negara? Begitu halnya dengan UUD ’45 yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi negara berubah menjadi sekadar pilar negara. Apakah hal ini tidak menunjukkan adanya kerancuan berpikir dan ketidakmampuan memahami persoalan-persoalan dasar bernegara? Realitas semacam ini sangat membahayakan kehidupan bernegara di masa depan.
Wawasan Kebangsaan Religius
Menurut sebagian kalangan, wawasan kebangsaan maksudnya adalah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tentang diri dan lingkungannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungan nusantara.
Bagaimanakah bangsa Indonesia memandang jati dirinya berdasarkan Pancasila dan UUD ’45? Sebagai negara berdaulat Bung Karno menyejahterakan rakyatnya. Karena itu dia meletakkan tiga pilar berdikari guna membangun karakter kemandirian bangsa di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Presiden Ke-2 RI, Soeharto memandang Indonesia yang berdasarkan Pancasila akan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Lalu sekarang dimasa reformasi ini, bagaimana bangsa Indonesia memandang jati dirinya? Pertanyaan ini perlu dijelaskan secara konstitusional mengingat adanya inkonsistensi, terutama dalam kaitannya dengan klaim Pancasila sebagai dasar negara.
Penegasan konstitusi UUD NRI, Bab XI (Agama), pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Logika konstitusionalnya kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mengacu kepada Agama. Bukan mengacu kepada budaya, kebatinan atau pemerintah. Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa hanya dimiliki oleh Islam. Pernyataan Ki Bagus ini tidak pernah dibantah oleh Bung Karno maupun tokoh nasionalis lainnya yang menanda tangani Piagam Jakarta itu.
Oleh karena itu, paradigma ‘Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama’, adalah paradigma a-historis. Hal ini kontradiksi dengan konstruksi konstitusi UUD 1945 pasal 29, bahwa agama menjadi landasan kerja kenegaraan yang dinyatakan dengan kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hubungan negara dengan agama bukan relasi horizontal, agama terkooptasi oleh negara, tetapi relasi vertikal, bagaimana negara dikelola dan dibangun berlandaskan nilai-nilai keagamaan.
Dalam konstitusi terdapat ketentuan yang mempertegas bahwa Indonesia sesungguhnya adalah negara agamis, yakni:
-
Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
-
Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
-
Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
-
Pasal 28J UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
-
Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
-
Pasal 31 ayat 3 UUD bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”.
-
Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
-
Secara formal diktum setiap perundang-undangan, sumpah jabatan dan keputusan pengadilan di Indonesia kalimat “Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, “Demi Allah”, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pokok kalimat pertama yang ditulis dan diucapkan. Nilai-nilai agama sudah inherent dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya.
-
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: “Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”
Seluruh ketentuan di atas menunjukkan bahwa wawasan kebangsaan Indonesia bersifat agamis. Artinya, Negara RI yang berdasarkan Ketuhanan YME ini, sesungguhnya berdasarkan agama, karena itu segala bentuk aturan dan UU dibuat tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama.
Disintegrasi Sosial
Setelah orde baru runtuh, rakyat Indonesia berharap negeri kita akan lebih sejahtera, damai, berbagai persoalan bangsa mendapatkan solusi yang tepat dan memenuhi aspirasi rakyat. Tetapi faktanya, dimasa reformasi problem bangsa semakin banyak. Belum selesai problem masa lalu berupa korupsi, degradasi moral, SARA, disintegrasi sosial dan teritorial, narkoba, bahkan bencana alam, ditambah lagi dengan problem baru yang lebih banyak dan kian memprihatinkan.
Integrasi bangsa (keutuhan wilayah negara), merupakan salah satu landasan bagi kokoh-tegaknya NKRI yang berdaulat. Karena itu, eksistensi negara RI sangat ditentukan oleh komitmen pada gentlemen’s agreement, kebersamaan dan kesepakatan sebagai suatu bangsa.
Dalam konteks NKRI, harus dipahami bahwa lahirnya bangsa dan negara ini merupakan hasil konsensus di antara para pendirinya. Bila konsensus tidak lagi dipatuhi, niscaya eksistensi negara akan terus menerus terancam bahaya karena adanya bahaya dalam negara.
Ketika pada tanggal 22 juni 1945, para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlemen’s agreement yang disepakati yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Kemudian tanggal 17 Agustus 1945, pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Dan Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Sesungguhnya Piagam Jakarta, inilah konsensus nasional yang kemudian menjadi mukadimah UUD 1945. Artinya, Indonesia pernah berdasarkan Syari’at Islam. Namun keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, rangkaian kalimat “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bukan itu saja pengkhianatan yang dilakukan kaum nasionalis. Piagam Jakarta yang dijadikan mukadimah atau preambule pada saat penyusunan UUD pada sidang kedua BPUPKI. Dan pada pengesahan UUD selanjutnya 18 Agustus 1945, istilah mukadimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usulan A A. Maramis.
Atas persetujuan Bung Karno, Mohammad Hatta menelikung perjanjian hasil keputusan sidang BPUPKI itu, dan membujuk Teuku Muhammad Hasan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo supaya menerima pembatalan Piagam Jakarta, dengan alasan adanya penolakan dari sejumlah orang dari Indonesia bagian Timur.
Sesungguhnya kejahatan terhadap suatu bangsa dan kemanusiaan adalah pemutarbalikan fakta sejarah. Peristiwa pahit yang terjadi pada Piagam Jakarta, dan penerapan Syari’at Islam di Indonesia, kini yang mengemuka justru seolah-olah jika Syari’at Islam diterapkan berarti mengkhianati perjuangan kemerdekaan. Bahkan dianggap musuh bersama yang hendak menggantikan NKRI dengan sistem agama.
Padahal, sejak hari pertama kemerdekaan, Indonesia sudah diproklamirkan sebagai negara agama. Perhatikan pembukaan UUD 1945 alinea ke-3, yang berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kalimat ini merupakan bagian dari kronologi sejarah yang panjang, rentetan dari pengorbanan harta, jiwa dan raga bangsa Indonesia. Kalimat ini pula yang membukakan kesadaran akan pentingnya menjalankan roda kekuasaan yang berpegang teguh pada hukum Allah.
Dalam Konstitusi RI, pasal 29 ayat 1 dinyatakan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ hanyalah dimiliki oleh Islam sebagaimana ditegaskan oleh Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah dan salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta. Pernyataan Ki Bagus ini tidak pernah dibantah oleh para penanda tangan Piagam Jakarta, termasuk Bung Karno maupun tokoh nasionalis lainnya.
Jika dalam mengisi hari-hari kemerdekaan, pemerintah Indonesia ternyata tidak menjalankan roda pemerintahan sejalan dengan UUD 1945, yang berarti bertentangan dengan konstitusi NKRI. Itulah problem kenegaraan yang akan terus memicu berbagai disintegrasi sosial bahkan ancaman sparatisme.
Berbagai kerusuhan dan konflik komunal yang terjadi belakangan ini, seperti konflik Ahmadiyah di Cikesik, rusuh massa liberal di Monas, benterok Syi’ah di Sampang, pendirian greja ilegal di Bekasi, dan sekarang masih panas pemaksaan pendirian RS Sloam di Palembang dan Padang, hanyalah sekadar contoh. Kader-kader militan kelompok sektarian anti syari’at Islam seperti Syi’ah, komunis, liberalis bahkan antek-antek zionis, kini berlomba menjadi anggota DPR melalui partai nasionalis sekuler.
Inilah fakta bahwa ancaman disintegrasi dan disharmoni sosial itu nyata, di depan mata. Kita mesti mewaspadai ancaman berbahaya ini disebabkan adanya bahaya di dalam negara. Semua ini berawal dari ingkar janji kelompok nasionalis sekuler terhadap kesepakatan dan kesepahaman gentlemen’s agreement Piagam Jakarta, sehingga potensi disintegrasi sosial bahkan sparatisme terus menghantui kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini.
Kenyataan ini membuktikan kebenaran ungkapan bijak dan bajik. Bahwa selain bencana alam dan penyakit menular, segala problema yang menimpa bangsa Indonesia disebabkan oleh pengkhianatan terhadap konsensus serta kesepakatan bersama.
Oleh karena itu, stigmatisasi penegakan Syari’at Islam di lembaga Negara sebagai pelanggaran UU, anti Pancasila, melangancam NKRI menjadi tidak relevan. Sebaliknya, larangan penegakan Syari’at Islam atau pengamalan ajaran Islam, jelas melanggar UUD dan pengkhianatan terhadap consensus kebangsaan. Kita menghimbau agar pemerintah, siapapun yang berkuasa, memenuhi janji para pendiri bangsa, amanah yang kelak di akhirat pasti dituntut tanggung jawabnya, sebagaimana seruan Allah Swt di dalam Al-Qur’an:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“…Dan sempurnakanlah semua janji kalian. Sungguh janji kalian itu kelak pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. Al-Isra’, 17:34).
Dengan begitu, Insya Allah semua umat beragama, terutama umat Islam dapat berperan optimal mengamankan NKRI dari bahaya disintegrasi sosial dan politik, baik dalam negeri maupun asing.
Khatimah
1. Problem
-
Ingkar janji terhadap konsensus kebangsaan, mengakibatkan agama dimarginalkan dalam percaturan bernegara, bahkan distigmatisasi Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Pada zaman Orla rezim Soekarno melahirkan konsep Nasakom, di masa Orba memunculkan konsep kerukunan beragama untuk kepentingan umat non Islam. Sedang di zaman reformasi ini, atas nama demokrasi memarginalkan peran agama.
-
Mustahil agama dan umat beragama dapat berperan optimal membangun Negara, selama negara di dominasi orang-orang yang mengaku nasionalis tanpa peduli ajaran agama. Paradigma pemerintah terhadap agama tidak jelas, sehingga partisipasi agama dan umat beragama dalam pemerintahan hanya sekadar memenuhi keinginan penguasa.
-
Implementasi UUD 1945 Bab XI Agama pasal 29 ayat (1) dan (2) tidak bisa dilakukan karena memiliki undang-undang organik yang jelas. Relasi agama dan negara hanya bersifat horizontal. Agama hanya menjadi obyek Negara, padahal konstruksi UUD 1945 pasal 29, agama semestinya menjadi landasan kerja Negara dan pemerintahan.
2. Saran-Saran
-
Segenap umat beragama supaya memperoleh kebebasan untuk menjalankan syari’at agamanya masing-masing, tanpa khawatir dituduh musuh negara ataupun anti Pancasila. Pemerintah secara konsisten dan konsekuen menjalankan roda pemerintahan sejalan dengan dasar negara ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, dan memberlakukan Syari’at Islam guna memenuhi konsensus nasional sebagaimana Piagam Jakarta, sehingga problem ideologis yang sering memicu berbagai tragedi politik keagamaan dan kemanusiaan diharapkan tidak menjadi ancaman laten. Karena itu diperlukan penjelasan konstitusional tentang makna Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu.
-
Negara harus memosisikan agama sebagai ruh dan jiwa dalam pengelolaan dan pembangunan negara. Bukan menjadikan ajaran agama sebagai sumber masalah, melainkan solusi problrm umat manusia. Karenanya, perlu upaya serius membuat undang-undang organik berdasarkan UUD 1945 pasal (1) dan (2) yang mengatur Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga disharmoni antar agama dan negara serta antar umat beragama dapat dihindari. Pemerintah tidak boleh menolerir adanya aturan dan UU yang bertentangan dengan ajaran agama.
-
Kaum nasionalis sekuler harus jujur terhadap sejarah bangsa Indonesia. Tindakan memusuhi Syari’at Islam dalam mengatur Negara merupakan pengkhianatan, karena jelas-jelas kemerdekaan Indonesia diraih atas berkat rahmat Allah Swt. Lalu mengapa Syari’at Allah tidak boleh dilaksanakan? Kecurigaan kaum sekuler bahwa Indonesia akan berpecah belah bila agama digunakan untuk mengatur Negara adalah bohong besar. Sebaliknya Indonesia terancam disintegrasi akibat prilaku kaum sekuler sendiri. Munculnya disintegrasi sosial serta konflik yang melibatkan antar umat beragama sejatinya bukan disebabkan doktrin agama. Islam tidak memerintah-kan untuk memusuhi apalagi membunuh non Muslim disebabkan perbedaan agama.
-
Partai Islam hendaknya konsisten dan konsekuen dengan misi penegakan Syari’at Islam di lembaga Negara, dan tidak boleh gentar untuk berterus terang menuntut hak kaum muslimin yang sudah dijamin UUD 1945.
Wallahu’alam bish shawab…
Jogjakarta, 7 Maret 2014
(Ukasyah/arrahmah.com)