YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Mujahidin (MM) mengirim surat protes kepada Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika atas pelarangan ibadah bagi siswa-siswi di banyak sekolah negeri di Bali, diantaranya penggunaan jilbab dan sholat Jumat.
“Adanya pelarangan mengenakan Busana Taqwa (jilbab) bagi para pelajar Muslimah SMP, SMA, dan PT di Bali, kami dari Majelis Mujahidin sangat prihatin dan melakukan protes keras,” demikian bunyi paragraf pertama surat MM yang cukup tegas menohok kodisi yang ada.
Selanjutnya, MM mempertanyakan, “Mengapa lembaga pendidikan di Propinsi Bali menerapkan kebijakan sektarian yang dapat memicu SARA dan melanggar HAM, justru disaat para pelajar negara kita sedang dilanda degradasi moral dan kriminal?”
Setelah membeberkan dasar konstitusi dan pertimbangan, Majelis Mujahidin memutuskan 3 point diantaranya, “Pemda Bali harus mencabut larangan mengenakan jilbab dan shalat Jum’at berjamaah terhadap siswa-siswi di seluruh wilayah Bali, karena larangan tersebut melanggar konstitusi negara dan UU Sisdiknas.”
Pada akhir surat itu Majelis Mujahidin memberikan warning kepada Mangku Pastika, bahwa surat ini sebagai upaya peringatan dini agar tidak menjadikan kasus ini sebagai bola panas yang akan memicu konflik SARA di seluruh wilayah NKRI, antara umat Islam dan Hindu.
Berikut ini isi selengkapnya surat protes larangan jilbab Majelis Mujahidin kepada Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, yang diterima redaksi Kamis siang.
Nomor : 06/LT MM/IV/1435
Lamp. : –
Hal : Protes Larangan Jilbab
Kepada Ykh.
Gubernur Bali
Komjen Pol (Purn) I Made Mangku Pastika
Di- Bali
Adanya pelarangan mengenakan Busana Taqwa (jilbab) bagi para pelajar Muslimah SMP, SMA, dan PT di Bali, kami dari Majelis Mujahidin sangat prihatin dan melakukan protes keras. Mengapa lembaga pendidikan di Propinsi Bali menerapkan kebijakan sektarian yang dapat memicu SARA dan melanggar HAM, justru disaat para pelajar negara kita sedang dilanda degradasi moral dan kriminal?
Pelaksanaan upacara dan ajaran keagamaan bagi warga Hindu Bali sudah demikian bebas dan leluasa, seakan Bali negara dalam negara, sementara pemeluk Agama Islam terpaksa mengikuti aturan-aturan keagamaan dalam melaksanakan kewajibannya, seperti dihalangi Shalat Jum’at Berjamaah, dilarang mengeraskan suara Azan saat hari Nyepi.
Terhadap tindakan diskriminatif dan arogan lembaga pendidikan di Bali, maka Majelis Mujahidin melakukan protes kepada Gubernur Bali dan menyatakan sikap:
Berdasarkan :
- UUD NRI 1945 Bab XI Agama, pasal 29, ayat (1) dan (2)
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 :
(1) Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1) dan (2):
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar danproses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
(2) Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan, pasal 3
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
(3) Bab V Peserta Didik, pasal 12 ayat (1a) : Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Menimbang :
- Pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, tidak selayaknya bersikap diskriminatif dan menindas warga minoritas, terutama dalam menjalankan ajaran agama.
- Bali adalah salah satu provinsi di dalam wilayah NKRI, sehingga terikat dengan aturan dan perundang-undangan Negara RI.
- Menutup aurat (mengenakan jilbab) adalah kewajiban wanita Muslimah. Tidak ada urgensinya bagi kemajuan pendidikan nasional, dan tidak ada manfaatnya bagi kepentingan kaum Hindu melarang Muslimah Berjilbab, selain hanya untuk menyakiti umat Islam dan melecehkan ajaran Islam.
Memutuskan :
- Pemda Bali harus mencabut larangan mengenakan jilbab dan shalat Jum’at berjamaah terhadap siswa-siswi di seluruh wilayah Bali, karena larangan tersebut melanggar konstitusi negara dan UU Sisdiknas.
- Sebagai pelaksana pemerintahan daerah Bali, Gubernur Bali harus memberikan teguran keras dan sanksi kepada sekolah yang melarang siswinya berjilbab, dan melaksanakan kewajiban shalat Jum’at serta melindungi warga yang hendak melaksanakan ajaran agamanya.
- Apabila Sekolah yang bersangkutan tidak mengindahkan protes ini, dan Gubernur Bali tidak melindungi serta memberi kebebasan bagi warga yang hendak melaksanakan kewajiban agamanya, berarti Bali telah memicu konflik komunal. Majelis Mujahidin beserta umat Islam akan menempuh langkah-langkah yang diperlukan secara konstitusional sesuai ajaran Islam, demi dipenuhinya hak dan kewajiban warga Muslim secara konstitusional.
Demikian surat pernyataan ini kami sampaikan, sebagai upaya peringatan dini agar tidak menjadikan kasus ini sebagai bola panas yang akan memicu konflik SARA di seluruh wilayah NKRI, antara umat Islam dan Hindu.
Yogyakarta, 12 Maret 2014
Majelis Mujahidin
Tembusan:
- Presiden RI
- Kemendikbud RI
- Kemenag RI
- Kapolri
- Komisi III DPR RI
- Kapolda, Bali
- Media massa
- Komnas HAM
(azm/arrahmah.com)