JAKARTA (Arrahmah.id) – Mejelis Hakim menolak permohonan pemindahan tahanan yang diajukan oleh kuasa hukum dari Ustadz Farid Okbah, Ustadz Zain An-Najah dan Ustadz Anung Al-Hamad (para Ustadz). Penolakan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar pada Rabu (21/9/2022).
Ahmad Khozinudin, selaku kuasa hukum dari para Ustadz, mengaku merasa kecewa atas penolakan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa permohonan tersebut hanya agar para Ustadz dipindahkan tempat tahanannya dari Rutan Cikeas, dialihkan ke Rutan Salemba atau Rutan Polda Metro Jaya, bukan meminta penangguhan atau pengalihan penahanan.
“Kami hanya minta para ustadz dipindahkan, agar hak-hak para ustadz selaku terdakwa seperti dikunjungi advokat dan keluarga dapat terpenuhi. Agar para Ustadz juga mendapat tempat yang lebih manusiawi,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Ahmad menilai hakim telah berbuat zalim karena tidak mau mendengar kesulitan yang dihadapi oleh tim advokat dan keluarga untuk menemui para Ustadz. Ia juga menambahkan bahwa hakim hanya memberikan himbauan agar Densus 88 memberikan akses kepada advokat.
“Hakim telah bertindak zalim. Hakim hanya memberikan himbauan agar densus 88 memberikan akses kepada advokat. Hakim tidak mau mendengar kesulitan kami, advokat dan keluarga untuk menemui para ustadz,” tuturnya.
Ia pun memaparkan pasal 60 dan 61 KUHAP yang secara tegas menyatakan :
“Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.”
“Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.”
Namun, yang terjadi pada para Ustadz adalah mereka dipersulit untuk bisa bertemu advokat dan pihak keluarga.
Ahmad juga menjelaskan bahwa saksi-saksi dan ahli yang akan diperiksa juga oleh hakim tidak dihadirkan secara langsung. Dengan berbagai dalih, pemeriksaan saksi dan ahli dilakukan secara online.
“Padahal, Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,” terangnya.
“Lalu, bagaimana nantinya jika saksi hanya dihadirkan secara online? tidak hadir langsung di sidang pengadilan? keadilan macam apa yang mau ditegakkan, jika proses mengadili perkara seperti ini, bukankah ini kezaliman yang nyata yang ditimpakan kepada para ustadz?” imbuhnya.
Ahmad pun membandingkan apa yang menimpa para Ustadz dengan yang terjadi pada kasus Ferdy Sambo.
“Para Ustadz bukanlah Ferdy Sambo. Para Ustadz hanya dituduh melakukan tindakan terorisme, karena aktivitas mereka dakwah mereka. Kronologi berbagai kegiatan pengajian dan pertemuan untuk urusan dakwah, selalu diulang-ulang dilabeli sebagai kegiatan terorisme,” ujarnya.
“Tidak ada setetes darah pun yang ditumpahkan para ustadz. Berbeda dengan Ferdy Sambo yang melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua Hutabarat,” lanjutnya.
Ia mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas kedzaliman dan ketidakadilan yang dialami oleh para Ustadz.
“Kecewa, dan rasa sedih menghinggapi relung dada. Sekali lagi, rasanya sesak sekali dada ini melihat langsung kezaliman yang ditimpakan kepada para Ustadz,” ungkapnya. (rafa/arrahmah.id)