Jakarta (armnews) – Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya menolak uji material (judicial review) Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Putusan itu dibacakan majelis hakim konstitusi dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi UU Perfilman di Gedung MK, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, permohonan uji materi UU Perfilman itu diajukan lima pemohon; Annisa Nurul Shanty K (artis), Muhammad Rivai Riza (Sutradara film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (Produser film), dan Rois Amriradhiani (Penyelenggara Festival Film).
Pemohon berpendapat ketentuan tentang penyensoran dalam UU Perfilman dinilai telah melanggar Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945.
Majelis hakim konstitusi yang diketuai Jimly Asshiddiqie menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya.
“Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim, Jimly Asshiddiqie.
Menurut majelis hakim dalil para pemohon yang menganggap bahwa norma yang mengatur keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) telah membatasi kebebasannya untuk berkreasi (mengembangkan diri), adalah benar.
Namun, pembatasan yang demikian itu dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang intinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan UU.
“Dengan demikian, suatu institusi yang berfungsi melakukan penilaian atas suatu film yang akan diedarkan ke masyarakat, apapun namanya yang dibentuk oleh negara bersama masyarakat perfilman, memang tetap dibutuhkan agar film yang diedarkan tidak mengganggu atau merugikan Hak Asasi orang lain,” katanya.
Majelis hakim juga menyimpulkan bahwa UU perfilman yang berlaku saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor film sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya.
Sehingga sangat mendesak untuk dibentuk UU Perfilman yang baru beserta ketentuan mengenai sistem penilaian film yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.
“Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang berakibat ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman beserta ketentuan tentang sensor dan lembaga sensor film yang termuat di dalamnya, tetap dapat dipertahankan berlakunya,” kata Jimly Asshiddiqie.
Majelis hakim menyatakan UU Perfilman itu tetap dapat dipertahankan berlakunya sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM, atau dengan kata lain UU Perfilman yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang didalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat).
Putusan tersebut disambut gembira oleh sekitar 20 massa Front Pembela Islam (FPI) yang turut hadir mengikuti sidang pembacaan putusan UU Perfilman itu, dengan ucapan “Allahu Akbar”.
Pembubaran LSF
Sebagaimana diketahui, sudah beberapa kali kalangan artis dan sutradara ‘pro-kebebasan” berusaha sekuat tenaga untuk menghapus keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF).
Kalangan sutradara dan artis itu menilai pemotongan film yang dilakukan Lembaga Sensor bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang dijamin dalam konstitusi. Diantara yang paling getol adalah sutradara muda lulusan Amerika, Riri Reza.
Sementara itu, kalangan budayawan seperti Gunawan Mohammad dan Seno Gumira juga menyetujui tidak perlunya lembaga sensor. Goenawan Muhammad, yang dijadikan saksi ahli mengatakan penghapusan lembaga sensor merupakan tuntutan dari kebebasan berekspresi.
Namun semua dalih kapangan artis, sutradara dan budayawan pembela ‘kebebasan” itu ditampik Taufiq Ismail. Dalam persidangan 24 Januari yang ditunjuk sebagai saksi ahli, Taufiq mengatakan, lembaga sensor masih diperlukan. Sebab tanpa adanya pengawasan, film dapat menjadi media perusak moral.
Taufik bahkan meminta kalangan insan media dan perfilman melihat ke dalam. Misalnya membuat film porno yang dibintangi sendiri oleh ibu, istri, dan saudara perempuan mereka, untuk mengelitik rasa malu mereka.