SOLO (Arrahmah.com) – Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Pusat Mahendradatta, menilai pemindahan paksa ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari Rutan Bareskrim Polri sarat sekali dengan intervensi Densus 88 kepada pihak Kejaksaan yang seharusnya punya wewenang untuk membina dan memindah seorang napi dari Rumah Tahanan (Rutan) satu, ke Rutan yang lainnya.
“Dengan jargon pemberantasan Terorisme, Densus 88 bisa dengan seenaknya hendak menjajah semua institusi dan bergerak untuk kepentingan politik tertentu,” Katanya seusai acara Deklarasi Nasional Pemuda Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) di stadion Manahan Solo pada Minggu (7/10) seperti dilansir forum-alishlah.
Masih dalam penjelasannya, menurut informasi yang diterima TPM, pemindahan tersebut dilakukan dengan alasan karena adanya surat yang di kirim oleh Ustadz Abu kepada presiden Myanmar soal pembantaian muslim di Rohingnya, Myanmar beberapa waktu lalu.
“Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, kami duga, (pemindahan itu-red) diakibatkan surat beliau kepada presiden Myanmar, mengenai nasib muslim Myanmar,” ungkap Mahendradatta
Dengan adanya surat Ustadz Abu tersebut, kemudian membuat asing tidak senang dan menyuruh pemerintah Indonesia dalam hal ini Densus 88, untuk “membungkam” dakwah dan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh Ustadz Abu, entah bagaimanapun caranya.
Sehingga berdampak, pemerintah Indonesia “membuang” ke sebuah pulau “Keramat, Magis (syirik-rek) nan Angker” yaitu ke LP Batu Nusakambangan melalui tangan-tangan kotor Densus 88.
“Karena Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengirim surat tersebut, kemudian ada protes dari luar negeri dan negara-negara yang tidak suka kepada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, kemudian menekan Densus 88 untuk memindah (dari Rutan Bareskrim Mabes Polri-red) Ustadz,” tambahnya.
Pihaknya (TPM) menuturkan sebagaimana perkataan ustadz Ba’asyir akan tetap melawan secara hukum pemindahan tersebut, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Ustadz Abu Bakar Ba’asyir akan tetap melawan secara hukum pemindahan ini. Kalau saudara-saudara nanya ke mana? Masih banyak cara, antara lain melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Kenapa? Karena di sini ada pelanggaran good governance, sebuah instansi yang mempunyai wewenang penuh ternayat membiarkan dirinya (Kemenkumham-red) dicampuri oleh instansi lain (Densus 88-red),” tegasnya.
Bahkan, menurut Dewan Pembina TPM ini, pembungkaman Ustadz Ba’asyir dengan memindahkannya ke Nusakambangan adalah upaya pengalihan isu untuk menutupi intervensi dan arogansi Polri dalam tubuh KPK.
“Hal ini tampak dari jarak waktu saat Densus 88 memindah Ustadz Ba’asyir dengan pengepungan kantor KPK,” jelasnya.
Meskipun, pengalihan isu tersebut kata Mahendradatta, telah gagal total, dikarenakan insan media melihat kasus perseteruan Polri vs KPK lebih “seksi”. (bilal/arrahmah.com)