KARNATAKA (Arrahmah.id) — Sebuah dokumen yang berisi informasi rinci mahasiswi muslim yang masuk ke perguruan tinggi di Karnataka mendadak menyebar dan viral. Data dalam dokumen itu digunakan sejumlah pihak untuk meneror mahasiswi muslim yang melakukan protes pelarangan jilbab di kampus.
Dilansir The Quint (9/2/2022), akibat kebocoran data itu, Aliya Assadi telah mendapatkan panggilan telepon kasar sepanjang hari pada hari Rabu (8/2).
Gadis berusia 17 tahun itu menyadari beberapa jam kemudian bahwa detail pribadinya – termasuk nomor telepon, nama orang tua, dan alamat rumah – dibagikan di grup Whatsapp yang ramai di Udupi, Karnataka.
Assadi adalah salah satu dari enam mahasiswa Muslim dari perguruan tinggi negeri Udupi yang berada di garis depan untuk menentang larangan penggunaan jilbab di kampus.
Hazra Shifa, mahasiswa lain dari perguruan tinggi yang sama, mengatakan, “Bahkan orang tua saya menerima telepon dari nomor yang tidak dikenal. Saya telah meminta mereka untuk tidak merespon panggilan tak dikenal.”
Akibat serangan teror itu, para mahasiswi menuntut manajemen perguruan tinggi untuk menjelaskan bagaimana rincian data pribadi mahasiswa bisa bocor ke publik.
Ketika The Quint menghubungi otoritas perguruan tinggi dimana para mahasiswi itu belahar, mereka menolak untuk mengomentari data yang bocor.
Dokumen yang saat ini viral juga memiliki salinan lembar penilaian mahasiswa yang melakukan protes.
Sebagian mahasiswi yang memiliki nilai yang kurang bagus menjadi target sasaran publik saat ini. Namun para mahasiswi menngatakan bahwa nilai buruk itu mereka dapatkan karena mereka tidak boleh masuk kelas, belajar, dan mengikuti ujian.
“Kami tidak diperbolehkan masuk ke kelas kami meskipun ujian dijadwalkan,” kata Shifa.
Diluar ketidakbolehan masuk kelas dan ujian, The Quint memperoleh data bahwa sebenarnya para mahasiswi ini memiliki nilai yang tinggi di kelas mereka sebelum mereka dilarang masuk kampus.
Dalam dokumen yang bocor pun dirinci pendapatan orang tua siswa.
“Ayah saya adalah seorang sopir. Sebelumnya, mereka menyalahkan saya karena kaya. Tapi setelah tahu pekerjaan ayah saya adalah sopir, mereka mengatakan bahwa saya miskin dan pengacau,” kata Assadi.
“Mereka menuduh kami gadis bayaran. Kami melakukan protes karena membutuhkan uang,” kata Shifa.
Para mahasiswi mengatakan bahwa kampanye kebencian telah mengganggu mental mereka. Selama beberapa hari terakhir, mereka telah kehilangan banyak hal saat memperjuangkan hak mereka untuk berhijab.
“Hal pertama yang hilang dari diri saya adalah kedamaian mental. Kami dilecehkan dan disiksa secara mental. Saya juga kehilangan waktu. Berbicara ke media pun dilematis. Saya harus hati-hati berbicara atau kalau tidak dipelintir,” kata Assadi.
Assadi juga merasa bahwa dia kehilangan banyak teman non-Muslim.
“Saya tidak tahu siapa yang membuat mereka jadi membenci dan menentang kami. Tapi saya harap ini tidak berlangsung lama,” kata Assadi. (hanoum/arrahmah.id)