JAKARTA (Arrahmah.com) – Poros Salemba menilai Kabinet Kerja Joko Widodo (Jokowi) & Jusuf Kalla (JK) mendapat nilai “D” alias sangat buruk.
Menurut Helmy aktivis Poros Salemba, 7 bulan berlalu, pemerintahan baru Indonesia yang dinahkodai Jokowi-JK telah menimbulkan gejolak sosial.
Ada lima indikator, imbuh Helmy, yang merupakan 5 sektor utama yang menjadi fokus evaluasi mahasiswa. Dalam rilisnya kepada Arrahmah.com Rabu (20/5/2015) pagi, mahasiswa jurusan kajian stratejik ketahanan Nasional pascasarjana UI ini menguraikan:
Pertama hukum: Penegakkan hukum di era Jokowisme & JKisme mudah diobok-obok kepentingan sekelompok elit partai politik, mudah diintervensi negara asing, diskriminasi penyikapan kasus yang dialami rakyat miskin dengan elit politik serta bandar Narkoba (hukum masih tumpul keatas dan tajam kebawah). Keadilan Sosial disingkirkan dalam penegakkan hukum. Pemerintah Indonesia kami nilai tidak menegakkan supremasi hukum, hukum yang adil semakin langka didapatkan sejak tujuh bulan terakhir.
Kedua ekonomi: Ketimpangan sosial (kemiskinan) meningkat akibat kebijakan menaikkan harga BBM. Sembako dan biaya transportasi publik. Investasi asing di sektor migas dan infrastuktur dibiarkan lepas dengan lemahnya kendali pemerintah. Keadilan sosial diabaikan, rakyat belum menikmati kekayaan yang dimiliki tanah, air dan udara negara Indonesia ini. Nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin melemah, sehingga daya beli masyarakat pun menjadi lemah. Dimana keadilan sosial sejak era Kabinet Kerja berkuasa?
Ketiga, politik: Konflik di kalangan elit partai dan antar lembaga negara (Pemerintah-DPR) mempengaruhi situasi masyarakat di daerah-daerah, tidak solidnya pemerintah menangani kebijakan-kebijakan baru presiden, semisal; ketidak jelasan arah,maksud dan tujuan dari slogan revolusi mental sebagaimana yang sering dijanjikan Jokowi bahwa akan melakukan perubahan perbaikan. Tetapi kepentingan rakyat “keadilan sosial” dihiraukan.
Keempat pendidikan: Keadilan sosial bagi rakyat miskin untuk mengakses pendidikan wajib belajar 12 tahun semakin dipersulit dengan tidak adanya dukungan anggaran dan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), tidak adanya jaminan “political will” di era pemerintahan Jokowi-JK dengan kabinet kerjanya. Persoalan terbesar dalam pendidikan Indonesia adalah tak adanya filsafat pendidikan yang jelas yang mengakibatkan pendidikan diorientasikan pada kepentingan/kebutuhan pasar (industri-kapitalis) apalagi menjelang pasar bebas 2015 (MEA). Pendidikan di era baru ini menjadi salah arah.
Kelima moral: Jaminan menjaga moral masyarakat tidak diperhitungkan oleh pemerintah Kabinet Kerja, prostitusi/pelacuran semakin berkembang, mulai pelacuran di kalangan anak sekolah, mahasiswa, janda, artis, masyarakat umum. Pelacuran online, terselubung dan terbuka diabaikan begitu saja. Tidak adanya tindakan tegas dr Jokowi dan JK atas sikap dan wacana Ahok untuk melegalkan prostitusi di Jakarta. Bersamaan dengan itu video porno masih belum diblokir, sedangkan ceramah-ceramah keagamaan dibatasi dan dicurigai, dimana letak keadilan sosial untuk menjaga moral bangsa?
Maka, kata Helmy, selama satu semester ke depan Jokowi harus menunaikan janji-janji ketika kampanye. Tidak boleh membohongi rakyat dan menggadaikan kepentingan rakyat banyak hanya untuk membela kepentingan partai atau kelompok tertentu.
“Wujudkan keadlilan sosial sekarang juga,” tukas mantan Ketua Bidang Komunikasi Ummat PII ini. (azmuttaqin/arrahmah.com)