Oleh Nazwa Hasna Humaira
Aktivis Dakwah
Setelah selesai pemilihan calon presiden dan wakilnya, kini warga Bandung digawangi oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna (Kang DS) tengah mempersiapkan pemilihan calon bupati dan gubernur 2024.
Kang DS mengatakan untuk mendukung pelaksanaan Pilkada tersebut, pemerintah kabupaten telah mengucurkan dana hibah sebesar Rp101,9 miliar. Dengan harapan agar pesta demokrasi ini berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Begitu pun dengan masyarakatnya agar menjadi pemilih yang berdaulat, ungkapnya. (patrolicyber.com, 31/5/24)
Sesuai dengan ideologi yang diemban saat ini yaitu demokrasi kapitalis, setiap 5 tahun sekali negara Indonesia wajib mengadakan pemungutan suara untuk memilih seorang pemimpin baik kepala negara, maupun kepala daerah (kabupaten/kota). Pemilihan ini seperti biasa akan dilakukan serentak pada 25 November 2024 mendatang. Adapun untuk biaya, pemilu tahun ini kabarnya lebih besar dari tahun sebelumnya. (Tempo.co, 12/4/2024)
Dana hibah yang dipersiapkan Kang DS memang cukup fantastis hanya untuk menggelar pesta demokrasi yang sebetulnya bukan hal yang urgen bagi masyarakat, terlebih di saat kondisi rakyat yang saat ini diliputi berbagai permasalahann terutama masalah ekonomi. Dari mulai pungutan pajak, biaya kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan keamanan semuanya menjadi beban tersendiri yang belum tersolusikan oleh pemerintah.
Kondisi tersebut adalah suatu hal yang tak asing dalam sistem demokrasi. Sistem yang saat ini hampir seluruh negara di dunia menerapkannya menjadikan para pemimpin yang telah terpilih dan menjabat di pemerintahan disibukkan dengan rutinitas di pemerintahan atau kepartaian hingga melupakan janji terhadap rakyat yang telah meng-golkan mereka saat kampanye Pilpres dan Pilkada. Kesibukan ini diduga karena mereka harus mengembalikan biaya politik demokrasi yang tinggi yang akhirnya berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkannya, yakni harus sesuai dengan arahan pemangku kebijakan yang menjalankan politik demokrasi sekuler.
Sehingga meski berulangkali digelar pemilu dan berganti pemimpin, tetapi tidak berefek signifikan bagi rakyat. Karena adanya pemilu tidak serta merta dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Kecurangan memungkinkan sekali terjadi karena landasan pemilihan pemimpin ini adalah meraih kursi kekuasaan yang dapat melanggengkan elit politk tertentu bukan untuk menjalankan aturan Islam yang salah satunya mengurus dan melayani rakyat. Siapa yang akan menang dan mendapatkan jabatan tersebut kadang sudah “diseting” dan direncanakan. Keberadaan pilkada pun tak berpengaruh besar bagi masyarakat. Selain hanya sekadar bergantinya pemimpin, aturan yang dihasilkan tetap sama, kemiskinan masih terus terjadi. Rakyat tetap tidak menerima kebaikan dan kesejahteraan sebagai hasil penyelenggaraan Pilpres maupun Pilkada, melainkan keadaan yang semakin terpuruk dan memprihatinkan.
Harga kebutuhan pokok tak pernah turun, biaya kesehatan kian mahal, pendidikan, dan keamanan juga mahal. Mirisnya, protes rakyat atas kebijakan yang menghimpit dianggap angin lalu alias tidak didengar. Sebab, dalam sistem demokrasi suara rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Akhirnya membuat rakyat pun hanya bisa menghela nafas saja melihat kondisi selepas pemilu yang tetap sama dari tahun ke tahun.
Inilah karut-marut pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalisme. Suatu kemustahilan dalam sistem demokrasi pemilihan seorang pemimpin dapat membawa perubahan lebih baik, sebab aturan kehidupan dalam sistem ini dibuat oleh manusia yang penuh keterbatasan.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memiliki mekanisme khusus untuk memilih seorang pemimpin. Dalam hal pemilu, Islam memandangnya sebagai salah satu uslub/cara untuk memilih pemimpin. Meskipun demikian, pemilu tidak bersifat wajib dan bukan metode baku dalam memilih seorang pemimpin. Pemilu pun bukan satu-satunya cara mewujudkan kedaulatan negara. Karena kedaulatan dalam Islam berada di tangan syarak.
Pemilihan calon pemimpin dalam Islam perlu yang betul-betul tepat dan kompeten. Hal yang dilakukan pertama adalah pemimpin tertinggi Islam (khalifah) akan menunjuk secara langsung kepada seseorang yang menurutnya cocok untuk dijadikan kandidat, itu pun atas persetujuan rakyatnya. Umat diberikan kesempatan untuk memberikan penilaian dalam keadaan ini.
Pemimpin kepala daerah tersebut akan langsung ditunjuk dan diberhentikan oleh khalifah. Juga, terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan untuk memilihnya, yaitu: Pertama, memiliki empat sifat seperti Rasulullah (Siddiq, Amanah, Fatonah, Tabligh). Kedua, bersikap adil. Ketiga, tidak zalim. Keempat, bertakwa dan dekat hubungannya dengan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Kelima, mampu di bidangnya.
Adapun pemilihan kepala negara, maka akan dilakukan dengan metode baiat. Sedangkan proses pemilihannya hanya membutuhkan waktu 3 hari 3 malam saja. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq 3 hari setelah Rasulullah wafat. Pemilihan pemimpin dalam Islam tidak bersifat berkala 5 tahunan sebagaimana dalam sistem demokrasi. Setiap pemimpin dibolehkan menjabat selama ia hidup dan tidak menyalahi syariat. Inilah yang membuat pemilu dalam sistem Islam tidak berbiaya mahal.
Selain itu, asas yang dieemban oleh sistem Islam adalah mengharapkan keridaan Allah Swt. Karena itu pejabat negara Islam wajib memprioritaskan kepentingan umat dibandingkan dengan pribadinya sendiri.
Dalam sistem Islam mengemban amanah untuk menjadi pemimpin bukanlah suatu hal yang diminati dan dijadikan persaingan oleh umat. Sebab, setiap individu memiliki kesadaran akan keimanannya kepada Allah Swt. dan tahu bahwa ketika diamanahi suatu hal yang besar pasti akan memiliki konsekuensi yang besar juga. Dan saat amanah itu diterima, pejabat negara tidak akan melalaikan tanggung jawabnya dan akan berupaya semaksimal mungkin agar hak-hak umat terpenuhi. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Maka, hanya dalam sistem Islam pemilihan pemimpin tidak berbiaya mahal. Seorang pemimpin yang terpilih pun akan mampu memberikan upaya terbaik bagi umatnya untuk mendapatkan kesejahteraan dan kenyaman secara riil bukan sekedar janji belaka. Dengan begitu, untuk mewujudkannya perlu persatuan umat dan dakwah yang terus-menerus hingga Islam diterapkan kembali sebagai sistem kehidupan sebagai mana dulu pernah diterapkan selama 13 abad lamanya.
Wallahu’alam bis shawwab