(Arrahmah.com) – Bersama sang suami, Cho Nwe Soe bersiap ke pengadilan. Di perjalanan, ia tak henti berdoa agar hakim hanya menjatuhkan denda dan mereka dapat kembali ke rumah untuk mempersiapkan Ramadhan. Namun kenyataan berkata sebaliknya.
Di pengadilan bulan lalu itu, suaminya yang berusia 41 tahun, Aung San Lin, dan enam Muslim Myanmar lainnya, yang tahun lalu mengorganisir sholat tarawih di jalanan setelah madrasah lokal ditutup oleh para nasionalis Buddhis, dikirim ke penjara selama tiga bulan.
“Saya jadi gila. Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Cho Nwe Soe, sembari menghapus air matanya. Dia berbicara di kedai teh yang dirintis pasangan tersebut selama 12 tahun di kota timur Thaketa, Yangon timur, tempat mayoritas Muslim tinggal.
Hukuman penjara ini telah mengguncang banyak Muslim di Myanmar yang mayoritas beragama Budha, dan mendorong pengawas hak asasi manusia untuk mendesak penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi untuk menjamin kebebasan beragama di negeri tersebut.
Perhatian global terhadap Muslim di Myanmar sebagian besar terfokus pada minoritas Rohingya di negara bagian barat Rakhine, setelah tindakan keras militer mengusir hampir 700.000 orang dari rumah mereka ke Bangladesh demi menyelamatkan diri.
Sejumlah aktivis mengatakan pemenjaraan para imam adalah salah satu petanda bahwa Muslim di seluruh negara Asia Tenggara menghadapi bentuk diskriminasi dan pembatasan hak-hak dasar.
“Diskriminasi agama yang jelas, dan pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan beragama,” kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Asia, dalam sebuah tweet mengomentari hukuman itu.
Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, tidak bisa dimintai komentar.
Dua madrasah Yangon, yang berfungsi sebagai sekolah agama dan tempat ibadah, ditutup oleh pemerintah setempat Mei lalu di bawah tekanan dari nasionalis Buddhis, dengan alasan bahwa kedua tempat itu dioperasikan ilegal, tanpa persetujuan resmi.
Beribadah di bawah bayang-bayang rasa takut
Sekarang, Cho Nwe Soe, yang juga berusia 41 tahun dan beralih dari agama Buddha ke Islam setelah menikah sekitar 25 tahun lalu, harus menjalankan kedai teh dan merawat anak-anaknya, termasuk seorang bayi perempuan, sendiri.
Toko mereka adalah sebuah ruangan kecil dengan sejumlah pajangan tergantung dalam bahasa Arab di dinding dan lebih dari selusin meja usang yang bertengger di lantai kayu yang tidak rata. Salah satu madrasah yang ditutup dalam penumpasan tahun lalu dekat dengan kedai tehnya, dan sejak itu banyak pelanggan yang hilang.
Muslim di Myanmar mulai merayakan Ramadhan pada hari Kamis (17/5/2018).
“Jika beribadah adalah kejahatan, kita perlu memenjarakan seluruh umat manusia,” kata Tin Shwe (56), kepala sekolah di salah satu dari dua madrasah yang ditutup. Putranya, Soe Moe Oo, juga dijatuhi hukuman bulan lalu.
“Sekarang orang-orang bahkan takut untuk shalat berjama’ah.”
Cho Nwe Soe dan Aung San Lin selalu menghabiskan Ramadhan mereka untuk beribadah dan menjalankan bisnis bersama, tetapi tahun ini dia terpaksa menutup kedai teh. Cho Nwe Soe mengatakan dia tidak dapat mempersiapkan segalanya sendiri, yang berarti ia harus bangun sebelum fajar dan bekerja sampai setelah matahari terbenam – sendirian.
“Saya juga ingin fokus berdoa demi suami saya selama bulan suci ini, bahkan jika para pelanggan meminta saya membuka kedai,” kata Cho Nwe Soe, sambil mengenakan jilbab hitam dengan pola merah muda dan biru.
Selama Idul Fitri, pasangan ini biasanya merayakan dengan memasak makanan ringan dan mengunjungi kerabat.
Namun, tahun ini Cho Nwe Soe telah membatalkan semua rencana kunjungan – dia hanya akan memasak shemai, mirip mie sohun manis yang dicampur dengan susu hangat, dan membawanya ke penjara untuk sang suami, Aung San Lin.
“Saya tidak akan merayakan tahun ini,” katanya. “Saya hanya akan mengunjungi suami saya di penjara dan menghabiskan waktu bersamanya.” (Althaf/arrahmah.com)