TEPI BARAT (Arrahmah.com) – Di sepanjang jalan di kota Ariha di utara Tepi Barat yang diduduki, Khaldoun dan Hassan secara rutin menerima 30 ton kurma yang dihasilkan di lahan pertanian pemukiman ilegal “Israel”. Kurma-kurma itu siap untuk dipindahkan ke salah satu pabrik kemasan yang dibangun di pinggiran kota Ariha, kantor berita Anadolu Agency melaporkan, Selasa (23/9/2014).
Di dalam pabrik itu, sekitar 13 pekerja sedang bekerja untuk “menyaring” kurma dan mengemas kurma-kurma itu dalam bungkus yang bertuliskan “Kurma Tanah Suci” yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris dan juga bungkus yang bertuliskan “Made in Palestine” untuk memasarkan kurma-kurma tersebut secara lokal maupun ke negara-negara Arab dan Eropa.
Penggunaan label “Made in Palestine” merupakan salah satu cara untuk bisa memasarkan produk kurma yang dihasilkan dari pemukiman ilegal “Israel” kepada para pelanggan dari negara-negara Uni Eropa setelah berlakunya keputusan awal tahun ini untuk memboikot produk pemukiman di Tepi Barat.
Anadolu Agency mengutip sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh menteri perekonomian nasional Palestina yang mengatakan bahwa anggota kementerian telah menemukan puluhan ton produk yang berasal dari pemukiman yang dipasarkan dengan cara mencantumkan label “Made in Palestine“, saat kurma-kurma tersebut dikirim ke salah satu pasar lokal atau ke pabrik-pabrik pengemasan di kota Ariha dan desa-desa sekitarnya.
Seorang pedagang kurma yang bernama Khaldun, (45), mengatakan kepada wartawan Anadolu Agency, “Kami menjual kurma dari pemukiman, yang kami beli dengan harga 40 persen lebih rendah dari harga pasar. Dan untuk bisa memasarkan kurma ini, kami mengemas ulang kurma-kurma tersebut dan memilih yang terbaik dalam persiapan untuk menjualnya ke pasar lokal, serta pasar Arab dan Eropa.”
Dia menambahkan bahwa volume tahunan dari penjualan kurmanya tersebut mencapai hampir 350 ton. Hal ini menunjukkan bahwa para pedagang lain yang bekerja di bidang ini dan para pedagang produk sayuran dan buah-buahan, seperti jeruk, kacang-kacangan, dan tanaman obat melakukan praktek serupa, yaitu dengan mengemas ulang produk-produk permukiman kemudian melabeli produk tersebut sebagai “Made in Palestine”.
Seorang pedangan yang lain yang bernama Hassan mengatakan bahwa ia memiliki sebuah perusahaan berlisensi yang terdaftar secara resmi. Proses ekspor terjadi setelah badan-badan resmi memeriksa kualitas dan spesifikasi dari produk-produknya untuk menjamin kesesuaian produk dengan spesifikasi Eropa dan standar internasional. Hal ini kemudian diekspor dengan label “Made in Palestine”.
Menteri ekonomi Palestina juga mengatakan dalam pernyataannya bahwa setiap truk yang membawa kurma harus memiliki izin untuk bisa memindahkan kurma-kurma tersebut dari lahan produksi ke pabrik yang akan melakukan pengemasan.
Dia juga menegaskan bahwa pihaknya telah mulai melakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan kurma dengan cara mendaftar nama-nama petani yang menanam kurma, jumlah pohon yang mereka miliki dan produksi rata-rata tahunan mereka.
Palestina menikmati pembebasan bea cukai dan fasilitas terkait dengan ekspor dalam perdagangan dengan negara-negara Uni Eropa, sehingga perusahaan “Israel” memilih bekerja sama dengan para pedagang Palestina untuk mengekspor kurma yang diproduksi di pemukiman ilegal yang didirikan di Tepi Barat ke Uni Eropa, sekaligus mendapatkan keuntungan besar dari adanya pembebasan bea cukai yang dikenakan terhadap produk-produk Made in Palestine.
Pada awal 2014, Uni Eropa telah mengumumkan keputusan untuk memberlakukan boikot ekonomi dan akademik terhadap badan-badan, pabrik-pabrik dan peternakan yang berinvestasi atau berhubungan dengan permukiman ilegal “Israel” yang didirikan di wilayah Palestina yang diduduki.
Sebelumnya, kementerian ekonomi Palestina telah menyita lebih dari 20 ton kurma yang rusak yang berasal dari permukiman “Israel” saat kurma-kurma tersebut dikirim ke salah satu pabrik untuk dikemas ulang, dan kemudian menjualnya sebagai produk Palestina.
(ameera/arrahmah.com)