PARIS (Arrahmah.id) — Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan Presiden Prancis Emmanuel Macron berdebat melalui panggilan telepon pada hari Selasa (15/4/2025).
Macron melalui X mengatakan bahwa dirinya dalam panggilan telepon, telah mendesak Netanyahu untuk segera mengakhiri pemboman di Gaza dan menerapkan gencatan senjata.
“Penderitaan warga sipil di Gaza harus diakhiri dan hanya gencatan senjata dalam perang dengan Hamas yang akan membebaskan sandera Israel yang tersisa di wilayah tersebut,” kata Macron, dikutip dari Al Arabiya (16/4).
Sementara itu, kantor PM Israel mengatakan bahwa Netanyahu menegaskan kembali penentangan pembentukan negara Palestina.
Menurut pernyataan tersebut, Netanyahu mengklaim bahwa pembentukan negara Palestina akan menjadi ‘hadiah besar bagi lawan’, dikutip dari Al Mayadeen.
“Perdana menteri mengatakan kepada presiden Prancis bahwa negara Palestina yang didirikan hanya beberapa menit dari kota-kota Israel akan menjadi benteng kelompok Iran, dan bahwa sebagian besar masyarakat Israel dengan tegas menentang ini, dan ini telah menjadi kebijakannya yang konsisten dan sudah berlangsung lama,” pernyataan kantor PM Israel.
Netanyahu dan sang anak sebelumnya juga telah mengatakan bahwa pihaknya dengan tegas menolak niat Macron.
Ia mengklaim bahwa rencana Macron akan menjadi ancaman bagi keamanan Israel.
Senada dengan sang ayah, Yair Netanyahu yang merupakan anak PM Israel juga tak terima dengan rencana Macron.
Dalam unggahan pedas di platform X (sebelumnya Twitter), Yair meluapkan emosinya. Ia kemudian melanjutkan dengan serangkaian sindiran terhadap kekuasaan kolonial Prancis, menyerukan kemerdekaan bagi wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali atau pengaruh Prancis.
“Ya untuk kemerdekaan Kaledonia Baru! Ya untuk kemerdekaan Polinesia Prancis! Ya untuk kemerdekaan Korsika! Ya untuk kemerdekaan Negara Basque! Ya untuk kemerdekaan Guinea Prancis! Hentikan neo-imperialis Prancis di Afrika Barat!,” tulisnya.
Perdebatan ini menyusul rencana Macron untuk segera mengakui negara Palestina.
Rencana tersebut diumumkan Macron alam wawancara dengan France 5 (9/4).
“Kita harus bergerak menuju pengakuan, dan kita akan melakukannya dalam beberapa bulan mendatang,” kata Macron, dikutip dari Al Jazeera.
Ia menyebut bahwa langkah pengakuan resmi kemungkinan akan diumumkan pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan diselenggarakan di New York pada bulan Juni.
Konferensi ini akan diketuai oleh Arab Saudi dan Prancis.
“Tujuan kami adalah untuk memimpin konferensi ini (mengenai Palestina) dengan Arab Saudi pada suatu waktu di bulan Juni, di mana kami dapat menyelesaikan gerakan pengakuan bersama oleh beberapa pihak,” katanya.
Presiden Prancis ini menegaskan bahwa langkah yang ia ambil bukan untuk kepentingan pribadi, namun demi kebenaran.
“Saya tidak melakukan ini untuk menyenangkan siapa pun. Saya akan melakukannya karena suatu saat nanti itu akan benar,” tegasnya.
Rencana ini sebelumnya telah diungkapkan oleh Macron setahun yang lalu, tepatnya pada bulan Februari 2024. Saat itu, Macron mengatakan bahwa ada kemungkinan untuk mengakui negara Palestina.
“Mengakui negara Palestina bukanlah hal yang tabu bagi Prancis,” katanya.
“Kita berutang kepada Palestina, yang aspirasinya telah diinjak-injak terlalu lama. Kita berutang kepada Israel, yang mengalami pembantaian anti-Semit terbesar di abad ini. Kita berutang kepada kawasan yang ingin lepas dari para promotor kekacauan dan penabur dendam, jelasnya pada saat itu.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan bahwa dukungan Macron adalah langkah berani dan mencerminkan komitmen terhadap keadilan dan hukum internasional.
Hingga saat ini, sebanyak 147 negara anggota PBB telah mengakui negara Palestina. Spanyol, Irlandia, dan Norwegia secara resmi mengakui negara Palestina dalam pernyataan terpisah pada bulan Mei tahun lalu.
Sejak Oktober 2023, Gaza telah mengalami krisis kemanusiaan besar-besaran.
Israel juga kembali melancarkan serangan di Gaza pada tanggal 18 Maret 2025. Ini menghancurkan perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan pada tanggal 19 Januari.
Lebih dari 51.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, tewas akibat serangan Israel yang terus berlangsung. (hanoum/arrahmah.id)