PARIS (Arrahmah.com) – Presiden Emmanuel Macron berjanji pada hari Jumat untuk melawan “separatisme Islam” yang katanya tengah mengambil kendali di beberapa komunitas Muslim di seluruh Perancis.
Perancis berusaha keras “melawan militansi Islam” yang tumbuh di negerinya selama bertahun-tahun, tetapi pemerintah Macron semakin khawatir dengan tanda-tanda “radikalisasi” yang lebih luas – seringkali tanpa kekerasan – dalam komunitas Muslim, kata pejabat Perancis, dikutip Reuters.
Mereka mengutip penolakan beberapa pria Muslim untuk berjabat tangan dengan wanita, kolam renang yang memberlakukan slot waktu alternatif untuk pria dan wanita, anak perempuan berusia empat tahun disuruh mengenakan cadar, dan maraknya ‘madrasah’.
Lebih dari 250 orang diklaim telah terbunuh di tanah Perancis selama lima tahun terakhir dalam serangan “militan Islamis atau individu yang terinspirasi oleh kelompok jihadis”.
“Apa yang kita perlu lawan adalah separatisme Islam,” kata Macron saat berkunjung ke Les Mureaux, pinggiran Paris yang miskin. Masalahnya adalah ideologi yang mengklaim bahwa hukumnya sendiri harus lebih superior dari hukum Republik.
Perancis mengikuti bentuk sekularisme yang ketat, yang dikenal sebagai “laicite”, yang dirancang untuk memisahkan agama dan kehidupan publik. Prinsip tersebut diabadikan dalam hukum pada tahun 1905 setelah perjuangan anti-klerikal dengan Gereja Katolik.
Dalam beberapa dekade terakhir, keinginan yang berkembang di kalangan Muslim Perancis untuk mengekspresikan identitas agama mereka telah mengkhawatirkan pemerintah dan kaum sekularis untuk fokus menyeimbangkan kebutuhan agama dan sekulerisme ke dalam Islam.
Banyak Muslim Perancis, bagaimanapun, telah lama mengeluhkan diskriminasi dan marginalisasi yang telah berkontribusi pada kemiskinan dan keterasingan sosial dalam komunitas mereka.
Inti masalahnya, menurut media, adalah pertanyaan tentang arti menjadi warga Perancis di negara dengan minoritas Muslim terbesar di Eropa – berjumlah sekitar 5 juta atau 7-8% dari populasi.
Macron mengungkapkan praktik Islam yang tegas adalah “separatis” karena mereka mengancam dalam pandangannya untuk memisahkan diri dari institusi dan aturan Perancis, kata para penasihatnya.
RUU yang menangani separatisme Islam akan dikirim ke parlemen awal tahun depan, kata presiden.
Di antara langkah-langkah dalam rancangan undang-undang tersebut, Macron mengatakan bahwa sekolah di rumah akan sangat dibatasi untuk menghindari anak-anak “diindoktrinasi” di sekolah-sekolah yang tidak terdaftar dan dinilai menyimpang dari kurikulum nasional.
Tidak ada reaksi langsung dari komunitas Muslim.
Kurang dari dua tahun sebelum kampanye kepresidenan berikutnya, Macron ingin tidak membiarkan dirinya terbuka terhadap serangan dari partai sayap kanan dan konservatif tradisional mengenai masalah hukum dan ketertiban seperti kejahatan dan imigrasi.
Macron mengatakan Islam dan Islamisme radikal tidak boleh digabungkan dan dia ingin membangun “Islam yang tercerahkan” di Perancis.
Pengajaran bahasa Arab akan didorong di Perancis dan Institut Islamologi akan didirikan, katanya. Tetapi para imam asing tidak akan lagi dapat melatih para ulama di Perancis dan akan ada kontrol yang lebih ketat atas pembiayaan masjid.
“Ada krisis Islam di mana-mana, yang dirusak oleh bentuk-bentuk radikal,” kata Macron. Namun dia menambahkan bahwa Perancis memiliki tanggung jawab dalam bagaimana praktik Islam berkembang di negaranya.
“Kami telah menciptakan separatisme kami sendiri,” katanya, mengutip ghettoisasi beberapa lingkungan minoritas. (Althaf/arrahmah.com)