(Arrahmah.com) – Melihat sikap Syafii Maarif membela Ahok, saya tidak heran. Kalau kita buka file-file lama di google, akan berserakan data-data bagaimana Syafii puja puji Ahok.
Dan melihat Syafii menghantam FPI (dan MUI) juga jangan heran. Syafii telah lama benci dan dongkol kepada Habib Rizieq Syihab. Ia, dalam catatan saya, tokoh pertama yang menyebut Habib dengan preman berjubah.
Kenapa demikian? Karena Syafii tidak pernah mencoba cross check kepada Habib Rizieq. Syafii lebih nyaman makan-makan dengan Ahok dibanding mencoba mendatangi Habib untuk mengklarifikasi apa sebenarnya yang diingini FPI.
Dan lebih ‘mengerikan’ lagi adalah ide Syafii tentang pluralism Agama. Dalam kolom Resonansi di Republika, Syafii pernah menulis (intinya) bahwa jalan keselamatan tidak hanya Islam, tapi juga agama-agama lain. Maka jangan heran, karena aqidah Syafii seperti itu, maka kini ia bela mati-matian Ahok.
Lelaki yang pernah kuliah di Amerika ini lebih gawat lagi ketika membuat Maarif Institute. Dengan ideologi dasar pluralisme agama, maka Maarif Institute mengeluarkan buku Fiqih Kebinekaan, yang nampaknya dipersembahkan untuk Ahok atau pemimpin-pemimpin non Islam di negeri ini. Jangan heran bila ‘lembaga Amerika’ kabarnya membantu dana besar untuk lembaga ini.
Lihatlah bagaimana ‘kerusakan ideologi Maarif Institute’ ketika membuat survei dan kemudian menempatkan Bali sebagai kota yang paling Islami di Indonesia. Maarif Institute tidak melihat bahwa Bali pusat narkoba, pusat pergaulan bebas/perzinaan dan pusat kemaksiyatan lainnya. Bagaimana dikatakan paling Islami?
Dan yang menyedihkan bagi saya, adalah ketika Syafii puja-puji Sahetapy ahli hukum (non Muslim). Syafii yang ahli sejarah, seperti lupa sejarah bahwa Sahetapy itu sangat keras permusuhannya kepada ‘hukum Islam’. Terutama Piagam Jakarta.
Seorang profesor sahabat Amien Rais, bertutur bahwa Amien Rais menyayangkan sikap sahabatnya yang sudah tua itu. Apa sebenarnya yang dicari oleh Syafii?
Syafii, saatnya bertobat.
Lelaki kelahiran Sumatera 81 tahun ini, memang punya pergaulan yang luas dengan non Muslim. Mungkin karena pengalamannya bersahabat dengan ‘intelektual-intelektual’ non Muslim di Amerika-Indonesia, menjadikan Syafii lembek terhadap non Muslim dan aqidahnya tidak kokoh.
Untuk menghilangkan kesombongan ilmiah, saya anjurkan Syafii membaca buku-buku Prof Mustafa Azami, Prof Ismail Faruqi dan lain-lain. Apakah Syafii tidak bisa mengambil pelajaran terhadap pembunuhan (non Muslim) yang mengerikan kepada Ismail Faruqi dan Istrinya yang disayat-sayat dadanya? Amerika bukan negeri perang lho. Menurut saya ini lebih sadis dari yang dilakukan ISIS terhadap musuh-musuhnya di Irak. Apakah Syafi tidak terketuk hatinya, bagaimana pemerintah Amerika non Muslim menghancurkan negara Irak (2003) yang mengakibatkan jutaan manusia kini melayang dan mengakibatkan krisis di negara itu berkelanjutan.
Syafii, seorang Muslim itu pertama kali disuruh Allah swt dengan ukhuwah Islamiyah, bukan ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah atau yang lainnya. Kenapa? Karena para Nabi, orang-orang terhebat dalam sejarah, itu membawa Islam. Kenapa Nabi Muhammad saw mati-matian selama hidupnya membela Islam, bahkan dengan peperangan? Karena Nabi Muhammad saw membawa risalah yang mulia dan penyeru perdamaian sejati manusia, meski jalannya kadang dengan peperangan.
Syafii, hayati sejarah Rasulullah saw dan masukkan dalam hati kenapa al Qur’an menyatakan:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Fath 29)
Syafii, tentu tahu bahwa di dunia ini yang terjadi adalah ‘pertarungan’ perebutan kepemimpinan. Tidak terkecuali di Indonesia. Bila kita terus menerus mendekati dan membela orang atau pemimpin kafir, maka tidak akan tumbuh kepemimpinan Muslim. Karena itu, Al Qur’an jelas menyatakan : “Orang-orang beriman, mereka berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Maka perangilah wali-wali syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu lemah.” (QS an Nissa’ 76).
Pak Syafii, ketika kita semakin tua, mestinya kita semakin bijak dan semakin mendekat kepada masjid dan kaum Muslimin. Pak Syafii tentu faham bagaimana Rasulullah saw dengan sangat serius hari-hari hidupnya digunakan untuk berdakwah, berjihad dan mengajak orang-orang non Muslim untuk masuk Islam. Jadi pergaulan kita kepada non Muslim bukan untuk memuji-muji atau ikut berjuang bersama mereka. Tapi tidak lain untuk mengajak mereka masuk Islam dan menikmati nikmatnya Islam (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad ulama’ yang shalih).
Pak Syafii, kadangkala kita perlu berendah hati mendengar pernyataan orang lain, bahkan orang yang kita musuhi. Ini tidak mudah. Karena biasanya kalau kita sudah merasa berilmu, professor, kita tidak mau mendengar ora ang yang bergelar S1. Apalagi S1 di dalam negeri. Penyakit kesombongan intelektual inilah yang harus kita hapus dalam diri kita. Bukankah Sayidina Ali menyatakan : “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan siapa yang mengatakan.”
Saya tahu ini tidak mudah. Kadang ‘sifat Firaun’ ini ada pada diri kita. Merasa kita yang paling hebat dan terbaik. Padahal di sana banyak juga orang-orang yang lebih hebat dan baik dari kita. Ingatlah firman Allah: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(QS Ali Imran 79).
Pak Syafii, kita masing-masing diberi Allah kelebihan dan kekurangan. Sepanjang hidup kita selain kita gunakan dakwah dan memperjuangan Islam, juga kita gunakan untuk memperbaiki diri. “Hisablah dirimu, sebelum dihisab Allah SWT.” I’tibar kisah Nabi Musa dan Nabi Khidhir perlu kita ambil. Yaitu ketika Nabi Musa merasa sudah pintar, Allah mendatangkan Nabi Khidhir yang ilmunya tentang masa depan jauh lebih hebat dari Nabi Musa.
Pak Syafii, meski saya pernah menjadi wartawan Majalah Tabligh Muhammadiyah, saya belum kenal secara dekat Pak Syafii. Saya hanya kenal Bapak lewat tulisan-tulisan saja. Bahkan ketika saya mahasiswa IPB, Alhamdulillah kebetulan saya sudah membaca sebagian buku Bapak. Yaitu ketika saya menulis resensi buku “Teori-Teori Politik Islam”, penerbit Mizan menghadiahi saya buku bapak bersampul hijau tentang masalah Keislaman dan Keindonesiaan.
Semoga kritik saya kepada Bapak dapat diterima dengan lapang dada. Karena saya yang masih muda, tentu pengalamannya tidak sebanyak Bapak. Tapi insya Allah yang saya sampaikan benar. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kita petunjuk dalam kehidupan yang ‘penuh materialistis’ sekarang ini.
Wallaahu aliimun hakim.
(Nuim Hidayat)
(*/arrahmah.com)