(Arrahmah.com) – Barangkali, Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela pun pasti geram melihat pembantaian warga muslim Rohingya oleh militer dan teroris-ekstremis berbaju Budha yang dikepalai oleh Ashin Wirathu. Kalau kedua tokoh perjuangan kemerdekaan itu masih hidup, pasti mereka langsung mencela keras genosida itu.
Gandhi dan Mandela tidak akan diam membisu. Mereka tidak akan memilih “diplomasi senyap”. Karena diplomasi senyap memang bukan untuk kejahatan keji sekaliber genosida Rohingya. Dengan menggunakan perangkat negara, Myanmar telah berulangkali memerangi warga Rohingya. Mereka tidak perduli terhadap dampak tindakan kejamya itu.
Myanmar sedang mengatakan kepada ASEAN, kepada seluruh dunia, “Kalian mau apa?”
Ini pesan yang disampaikan Aung San Suu Kyi bersama para jenderal militer Myanmar. Negara yang membunuhi rakyatnya sendiri itu, tidak pantas lagi dilayani dengan cara yang terhormat.
Namun, rupanya, Presiden Jokowi jauh lebih lembut dan lebih santun dari Gandhi dan Mandela. Karena itu, apa yang disebut “diplomasi senyap” adalah jalan yang akan ditempuh pemerintah Indonesia. Jakarta tidak akan menggunakan diplomasi keras terhadap Myanmar. Sebab, Jokowi memikirkan semua aspek negatif dari diplomasi yang disertai ultimatum.
Sementara di lain pihak, Myanmar santai-santai saja mengarahkan laras senapan mesin, bazoka, dan meriam artilerinya ke arah pengungsi Rohingya yang berusaha menyelamatkan nyawa mereka ke hutan-hutan pegunungan. Dengan kekuatan penuhnya, militer Myanmar memberondong rombongan pengungsi yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Memilih “diplomasi senyap” tentu sepenuhnya hak pemerintah, hak Presiden. Kita hanya ingin mengatakan bahwa Indonesia pantas, bahkan harus, menunjukkan “leadership” (kepemimpinan) di ASEAN. Leadership itu menuntut kesanggupan untuk berbicara tegas dan lantang pada saat terjadi krisis serius. Sanggup dan harus mengatakan bahwa operasi militer Myanmar terhadap warga Rohingya merupakan tindakan “genosida”.
Indonesia seharusnya bisa mengeluarkan peringatan keras kepada Myanmar bahwa tindakan brutal militer, pembunuhan dan pemerkosaan, telah menjadi catatan semua negara anggota PBB. Bahwa para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu, bagaimanapun juga, akan dibawa ke pengadilan. Dalam waktu segera.
Sebagai negara terbesar, Indonesia akan dilihat super-aneh kalau berada di lini pinggir pusaran ASEAN. Justru, Indonesialah yang hasrus berada di tengah pusaran organisasi regional ini.
Inilah kesempatan untuk memperlihatkan bahwa di arena Sea Games, Indonesia memang berada di urutan yang memalukan. Tetapi, dalam hal genosida Rohingya, Indonesialah yang akan memimpin klasemen politik regional ini. Indonesialah yang akan mengarahkan agenda politik kawasan.
Kita semua yakin bahwa Indonesia memiliki “modal kerja” yang sangat besar untuk berada di depan dalam mengelola reaksi tegas dan keras terhadap Myanmar. Sebab, Indonesia yang memiliki kemayoritasan penduduk muslim, mampu menjaga keberagaman dan toleransi sampai detik ini, dan in-sya Allah sampai masa-masa selanjutnya.
Sekali lagi, “diplomasi senyap” yang belakangan dipuja-puji oleh orang-orang yang berpikiran “awkward”, “bizarre”, itu bukanlah pilihan yang terhormat. Sebaliknya, itulah pilihan yang akan ditertawakan oleh Ashin Wirathu dan para jenderal pembunuh di tubuh militer Myanmar.
Maaf, Pak Jokowi, diplomasi senyap atau lightweight diplomacy (diplomasi ringan) bukan dosis untuk genosida.
Asyari Usman (wartawan senior)
(*/arrahmah.com)