Oleh: Ustadz Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Sejak diangkat men jadi Lurah hasil lelang jabatan, 27 Juni 2013, penolakan warga Lenteng Agung terhadap Lurah Susan terus bergejolak. Kehadiran Lurah perempuan itu tidak diterima warga, antara lain karena perbedaan agama dengan warga yang dipimpinnya. Susan beragama Kristen, sedangkan warga Lenteng Agung yang berjumlah sekitar 50-an ribu mayoritas beragama Islam.
Menurut warga setempat, selama Susan menjabat sebagai Lurah Lenteng Agung, dampak negatifnya langsung terasa. Tergerusnya etika pergaulan sosial yang sudah membudaya di masyarakat Lenteng Agung. Ucapan salam diganti menjadi ‘selamat pagi’ atau ‘good morning‘ bukan ucapan salam layaknya mayoritas warga Lenteng Agung.
“Sekarang ucapannya good morning bukan lagi assalamu’alaikum,” ujar seorang perwakilan warga dalam orasi di depan kantor Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta.
Merespons gejolak warga tersebut, Mendagri Gamawan Fauzi menyarankan supaya Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengevaluasi penempatan Susan. Akan tetapi, penolakan warga dan saran Mendagri dinilai sebagai sektarianisme dan politisasi SARA.
Joko Widodo bertekad tidak akan mengganti Susan Jasmine sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Soal protes warga karena Susan berbeda agama dengan mayoritas warga tidak akan dijadikan pertimbangan.
“Nggak apa-apa demo tapi saya belum terpikir mengganti. Jangan sampai urusan agama dibawa-bawa ke sana,” tegas Jokowi di Balai Kota, Jakarta, Jumat (27/9).
Sikap Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kecipratan popularitas Jokowi, dan mengaku putra ideologis Bung Karno itu, lebih keras dan arogan.
Usai menyampaikan pidatonya pada Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2013, dengan berapi-api Ahok menyatakan sikapnya. “Kami akan tetap pertahankan Lurah Susan. Kami tidak akan geser dia karena masalah SARA dan persaingan di dalam. Kita hidup di negara Pancasila. Pengangkatan dan pemberhentian kami pertimbangkan berdasarkan prestasi,” ujar Ahok.
“Pancasila tidak mungkin terkalahkan. Dari radikal kiri, mau radikal kanan itu sudah tidak mungkin. Jadi coba saja siapa yang pingin mengubah Pancasila pasti tumbang, pasti kalah,” kata Ahok usai memimpin upacara memperingati Hari Kesaktian Pancasila di pelataran Monas, Jakarta Pusat, Selasa lalu.
Bahkan, Ahok yang beragama Protestan, berani mengintimidasi warga, akan menangkap mereka yang berdemo menentang Lurah Susan tanpa izin. Padahal izin demo urusan kepolisian, bukan urusan wakil gubernur.
Sikap keras Gubernur DKI dan wakilnya mendapat dukungan ideologis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu 25 September 2013, Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo meminta Gubernur DKI Jakarta supaya pasang badan, mempertahankan Susan Jasmine sebagai Lurah Lenteng Agung, kendati diprotes sejumlah pihak.
“Partai mendukung sepenuhnya terhadap upaya penataan birokrasi yang dilakukan oleh Pak Jokowi dengan melalui proses uji kepatutan dan kelayakan. Berbagai macam bentuk tekanan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu harus dilihat sebagai politisasi atas isu SARA,” terang Tjahjo Kumolo.
Menghidupkan Nasakom
Penetapan Lurah Susan secara sepihak yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang ditentang warga dan tanpa mempedulikan aspirasi masyarakat, mengingatkan kita pada gaya pemerintahan Soekarno (1960-1965). Pada akhir-akhir rezim demokrasi terpimpin, Soekarno mengangkat Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), DN Aidit sebagai Wakil Ketua MPRS dengan Kedudukan sebagai Menteri dalam kabinet Kerja III masa kerja 6 Maret 1962 – 13 November 1963. Kemudian diangkat lagi menjadi Wakil Ketua MPRS dalam kabinet Dwikora I masa kerja 27 Agustus 1964 – 22 Februari 1966.
Sekalipun pengangkatan DN Aidit sebagai Wakil Ketua MPRS mendapat protes dari Angkatan Darat dan partai Islam, Seokarno tidak bergeming, tetap memaksakan kehendaknya untuk mengangkat pimpinan PKI itu sebagai menteri. Alasannya, di Indonesia masalah ideologi bersifat terbuka. Karena itu komunis pun boleh eksis di Indonesia.
Namun aneh, Soekarno tidak konsisten. Buktinya, alasan ideologi terbuka tidak berlaku bagi partai Islam. Soekarno melarang eksistensi partai Masyumi dan partai Sosialis Murba. Akibat pemakasaan kehendak oleh Soekarno dengan alasan hak prerogatif presiden, akhirnya partai komunis merajalela di Indonesia.
Pada 1965, PKI berkibar menjadi partai politik terbesar di Indonesia, sehingga semakin berani menampakkan ambisi politik kekuasaan. Bahkan melakukan makar pemberontakan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira yang berakhir di Lubang Buaya. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa G 30 S/PKI.
Siapakah DN Aidit? Aslinya bernama Achmad Aidit, dipanggil Amat. Ayahnya bernama Abdullah Aidit. Di belakang hari Si Amat ini merubah namnya menjadi Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan D.N. Aidit. Lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923. Setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung.
Apakah Ahok memiliki benang merah ideologis dengan DN Aidit, sebagaimana ia juga mengaku anak ideologis Bung Karno? Belum ada data yang jelas mengenai hal itu. Tetapi yang pasti, Ahok berasal dari daerah yang sama dengan Aidit, dan memiliki kesamaan karier politik sebagai anggota DPR. Pernyataan keras dan kasar yang menjadi ciri khas Ahok, hampir sama dengan gaya DN Aidit yang provokatif.
Ahok sendiri aslinya bernama Zhong Wan Xie, dan sekarang menjadi Basuki Tjahaja Purnama. Lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966. Pada 2009-2014, menjadi Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar.
Siapapun boleh mengaku pengikut Bung Karno atau putra ideologis sang proklamator. Akan tetapi, berlindung di balik nama besar Soekarno untuk tujuan Komunisme dan Kristenisasi atau perang ideologi di Indonesia, jelas melanggar UUD 1945. Hal ini perlu diwaspadai karena dampak politiknya yang berbahaya.
Sikap dan tindakan Jokowi yang pasang badan mempertahankan Lurah Susan, dan menganggap penolakan warga berdasarkan agama bukan hal penting dan tidak perlu dihargai, membuat gerah. Tanpa disadari Jokowi telah memosisikan diri sebagai sosok anti Islam di Indonesia.
Apakah Jokowi hendak menghidupkan gaya politik ala Soekarno yang suka memaksakan kehendak? Jika demikian, bukan mustahil kebijakan Jokowi menjadi pintu masuk bangkitnya komunisme di Indonesia. Setidaknya test case politik menjelang pilpres 2014. Karena siapapun yang tidak mempertimbangkan agama dalam penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini, ditengarai terindikasi komunis.
Adalah hak warga negara Indonesia untuk menolak siapapun menjadi pemimpinnya berdasarkan agama. Tidak ada larangan menolak seorang pemimpin dengan alasan perbedaan agama, ideologi, moral, dan lainnya. Apalagi penolakan itu mendapat dukungan warga masyarakat.
Jika ada yang menyatakan penolakan warga terhadap Lurah Susan dengan alasan perbedaan agama sebagai bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi. Pada pasal berapa dalam UUD 1945 menyebutkan larangan tersebut? Tidak boleh seenaknya bicara konstitusi berdasarkan persepsi pribadi.
Masih terngiang dalam ingatan bangsa Indonesia. Ketika kampanye Wagub dan Cawagub DKI Jakarta, 2012 lalu, Ahok pernah menyatakan: Kita berpegang pada konstitusi, bukan pada kitab suci.
Ucapan seperti ini, apalagi diucapkan oleh pejabat pemerintahan, merupakan penistaan terhadap agama dan pelanggaran atas konstitusi Indonesia, yang menyatakan setiap warga negara berhak menjalankan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaannya (ps 29 ayat 2 UUD ’45).
Jika Ahok tidak mau berpegang pada kitab sucinya. Itu urusan Ahok. Tapi dia tidak berhak mengintimidasi orang lain untuk ingkar pada kitab suci seperti yang dia lakukan. Tidak sekadar itu, Ahok juga mengintimidasi akan menangkap para pendemo Lurah Susan bila berdemo tanpa ijin. Ancaman ini berlebihan. Bukankah urusan izin demo wewenang polisi, bukan wewenang Wagub?
Dukungan PDIP terhadap pemaksaan kehendak mempertahankan Lurah Susan oleh Gubernur Jokowi, dengan menyatakan berbagai macam bentuk tekanan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu harus dilihat sebagai politisasi atas isu SARA, seperti dikatakan Tjahjo Kumolo. Jelas dukungan yang sangat berbahaya dan tendensius.
Mengapa kaum nasionalis sekuler begitu mudah melabelkan stigmatisasi SARA terhadap umat Islam yang menolak Lurah Susan? Apakah ada skenario menciptakan kondisi SARA sebagai move politik dengan maksud menjebak umat Islam? Atau PDIP sendiri memiliki tendensi untuk menghancurkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Jogjakarta, 3 Oktober 2013
(Ukasyah/arrahmah.com)