Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
(Arrahmah.com) – Food and Agriculture Organization/FAO atau Badan Pangan dan Pertanian PBB telah memperingatkan mengenai potensi terjadi krisis pangan global sebagai dampak dari pandemi Corona. Hal ini bisa dipahami, mengingat kebijakan setiap negara dalam memutus mata rantai penyebaran wabah telah menimbulkan banyak problem tersendiri. Tak terkecuali kaitannya dengan problematika pangan. Solusi pandemi meniscayakan produksi, rantai pasok hingga distribusi pangan terhambat beberapa waktu belakangan.
Demi merespon hal ini, Indonesia sendiri melalui Presiden Joko Widodo melakukan gerak cepat dengan merencanakan satu program yang dinamakan Lumbung Pangan Nasional Terintegrasi (Food Estate).
Tak tanggung-tanggung presiden langsung menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai leading sector proyek. Bahkan tempat yang dicanangkan untuk mega proyek nasional itu telah ditetapkan di wilayah Kalimantan Tengah. Disebut-sebut lahan seluas 20.704 hektar di Kabupaten Kapuas dan 10.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau telah siap untuk dieksekusi menjadi lahan bagi kebijakan penyelesaian problematika pangan nasioal itu.
Dikutip dari laman medcom.id (19/07/2020) bahwa langkah Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, memimpin program food estate atau Lumbung Pangan Nasional (LPN), dianggap sangat tepat. Pasalnya, selain Menteri Pertahanan, Prabowo juga dinilai mumpuni di bidang agraria.
“Dari dulu memang visi misinya soal ketahan pangan dan keamanan,” kata pengamat politik Adi Prayitno dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 18 Juli 2020.
Berbeda dari apa yang disampaikan oleh Adi Prayitno beserta sebagian kalangan politik di pusaran rezim. Banyak pihak mulai dari politisi, pengamat politik dan para ahli terkait justru menyangsikan solusi yang digadang-gadang akan masuk Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024 ini. Kegagalan program serupa di era sebelumnya yang jika tidak dibenahi akan mengulang terbuangnya biaya APBN dan energi banyak secara sia-sia. Mulai dari program pembukaan lahan sawah satu juta hektar di masa Soeharto, SBY. Bahkan beberapa waktu lalu pernah diprogramkan di masa Jokowi yakni proyek rice estate di wilayah Papua. Semua berakhir dengan kegagalan dan lahan yang mangkrak.
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan banyak pihak terkait hal ini: Pertama, penggunaan lahan basah seperti rawa dan gambut bagi pelaksanaan program LPN. Hal ini dinilai banyak ahli akan merusak ekologi tanah. Apa yang terjadi di masa Presiden ke-2 Soeharto cukup menjadi pelajaran berharga untuk tidak diulang kembali di masa kini.
Pada 26 Desember 1995, Keppres No. 82 dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Kala itu diagendakan Proyek Pengembangan Lahan Gambut [PLG] Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuannya adalah menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.
Kegagalan total pun dituai. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam serta dampak hidrologi dari proyek itu.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan mengutip ulasan dari Kprodi S3 Ilmu Teknik Pertanian UGM yang menyatakan bahwa eks Pengembangan Lahan Gambut yang dulunya rawa itu sangat rapuh dan heterogen. Lahan tersebut termasuk lahan sub optimal dan telah mengalami degradasi 25 tahun. (Kompas.com, 14/07/2020)
Kedua, pengkajian prioritas kebijakan. Banyak kalangan ahli yang tidak yakin akan keberhasilan dari policy yang akan menyedot dana tak sedikit ini. Dibanding harus bertaruh mengerahkan banyak sumber daya dengan membuka lahan yang jelas-jelas berpotensi besar menuai dampak buruk bagi lingkungan, alangkah lebih elok jika mega anggaran itu diarahkan pada supporting yang menyeluruh bagi para petani. Bukankah mereka adalah rakyat yang menjadi tanggung jawab penguasa dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraannya, terkhusus masalah pangannya?
Cita-cita untuk menjadikan ketahanan pangan dalam negeri adalah perkara mulia. Namun demikian, kegagalan demi kegagalan dari program serupa tentu wajib disikapi dengan mencari benang merah dan akar permasalahannya. Jangan sampai kebijakan populis yang tak belajar dari kegagalan di masa lalu tetap dipertahankan.
Jika ditelusuri dari setiap program yang dijalankan, paradigma kapitalis demokrasilah yang menjadi biang masalahnya. Prinsip yang senantiasa menomor satukan perolehan materi untuk segelintir kepentingan para pemilik korporat. Didukung oleh raja beserta hulu balang negeri. Dimana dahulu ketika mereka menaiki tahta mendapat dukungan dana tak sedikit dari cukong-cukong korporat. Akhirnya mereka berkolaborasi menjalankan amanat pemerintahan menggunakan sistem korporatokrasi.
Lantas rakyat ada di posisi mana?
Mereka ditempatkan di bagian pendukung suara legalitas penaikkan tahta demokrasi lima tahun sekali. Sementara dalam kehidupan sehari-hari faktanya mereka tetap berjibaku sendiri dalam meraih semua kebutuhan hidupnya. Mulai dari hajat perut, tempat tinggal, juga pakaian.
Pangan sebagai salah satu hajat asasi setiap individu diurus dengan prinsip kapitalis. Support pada para petani berupa subsidi bagi setiap kebutuhan pertanian makin hari kian disunat. Dukungan berupa pembelian hasil pertanian di tingkat petani makin murah. Jadilah gairah dalam menanan menurun drastis. Sementara dalam waktu bersamaan pasar dalam negeri digempur dengan produk pangan impor. Hal ini sebagai wasiat dari keikut sertaan negeri ini pada arahan internasional melalui mekanisme pasar bebas.
Bandingkan dengan bagaimana Islam mewajibkan negara mengerahkan seluruh perhatian untuk memastikan stok pangan tersedia dan bisa dijangkau seluruh individu rakyat. Rakyat didukung dari sisi subsidi bagi para petani. Subsidi dilakukan secara langsung maupun berupa kebijakan yang benar-benar memihak mereka.
Hasil pertanian, peternakan dan semua produk pangan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini mewujudkan kemandirian pangan berupa swasembada sehingga akan menihilkan ketergantungan pada asing yang berisiko penjajahan ekonomi dan politik seperti di alam kapitalis saat ini. Jika dari proses ini ada surplus barulah negara menengok mekanisme ekspor.
Negara pun hadir sepenuhnya hingga penyelenggaraan pasar untuk terdistribusikannya bahan pangan sampai ke tangan rakyat. Para pengawas pasar diutus oleh negara untuk memastikan tidak ada permainan harga dari tingkat petani, distributor hingga konsumen. Pasar pangan pun akan aman dari tangan-tangan jahil pelaku rente yang lumrah bertebaran di pasar ala kapitalis.
Kebijakan di atas dijalankan beriringan dengan supporting sistem ekonomi dan pemerintahannya. Dukungan subsidi dan mekanisme pasar hanya bisa teraih jika sistem ekonomi Islam dijalankan sepenuhnya. Mekanisme kepemilikan dimana harta kekayaan alam dikuasai oleh negara menjadikan subsidi perkara mudah untuk dilakukan.
Sistem pemerintahan yang hanya mengikuti arahan hukum syara memandatkan negara tak boleh berada pada dikte asing. Ia adalah warisan dari teladan umat sepanjang masa, Rosulullah saw.
Semua itu dilakukan semata dorongan iman dan takwa, sebagai basis yang dimiliki setiap pemangku jabatan. Dari level tertinggi yakni khalifah, hingga para pembantunya (muawin) dan jajaran pemimpin yang ada di bawahnya.
Mereka memimpin dalam rangka melaksanakan amanah. Dimana diyakini sepenuhnya bahwa kelak akan dimintakan pertanggung jawabannya di hadapan Sang Penguasa Jagat Raya. Bukan untuk popularitas, terlebih mengikuti arahan para korporat lokal maupun asing.
*) Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
(*/arrahmah.com)