JAKARTA (Arrahmah.com) – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan, menawarkan proyek baru senilai USD 60 miliar atau setara Rp 870,5 triliun, kepada para investor China.
Tawaran itu dimaksudkan untuk memanfaatkan skema kerja sama One Belt One Road (OBOR).
Dalam skema tersebut, China menyiapkan dana triliunan dolar, untuk mewujudkan obsesinya membangun ‘jalur sutera baru’.
Sebelumnya, Indonesia dan China telah bekerja sama dalam proyek kereta semi-cepat Jakarta-Bandung, senilai USD 6 miliar.
Di luar proyek tersebut, Deputi Kemenko Maritim Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin mengatakan, sejak setahun lalu pemerintah telah menjalin komunikasi yang konstruktif dengan China, untuk kerja sama lanjutan pada proyek-proyek infrastruktur lain hingga senilai USD 60 miliar.
“Indonesia telah mengusulkan proyek-proyek potensial di seluruh nusantara. Para pejabat dan ahli dari China juga telah berkeliling ke berbagai daerah untuk mencari proyek-proyek yang akan didanai skema OBOR,” katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
OBOR merupakan kerja sama ekonomi China, untuk menancapkan pengaruh global di berbagai negara Asia, Afrika dan Eropa.
Proyek-proyek yang ditawarkan Indonesia antara lain, empat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) senilai USD 35 miliar di Provinsi Kalimantan Utara.
Mengutip media China, Reuters mengungkapkan pada Oktober lalu, Power Construction Corp of China (PowerChina) dan Indonesia Kayan Hydro Energy telah menandatangani kontrak senilai USD 17,8 miliar. Kontrak itu untuk kerja sama tahap awal, berupa pengadaan dan konstruksi untuk salah satu PLTA.
Tawaran investasi Indonesia bagi Cina, juga meliputi proyek pembangkit listrik mulut-tambang, pembangunan kawasan industri, pelabuhan dan infrastruktur lainnya di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Sulawesi Utara dan di pulau resor Bali.
“Kami sepenuhnya sadar bahwa kami tidak boleh membiarkan kerja sama ini berakhir dengan buruk,” ujar Ridwan. “Negara-negara lain telah dipaksa untuk membayar kembali pinjaman, hingga akhirnya terpaksa melepaskan aset mereka. Kami tidak ingin itu terjadi di Indonesia,” ungkapnya.
Cina sedang berada dalam ambisi untuk memperoleh pengaruh ekonomi dan politik di seluruh dunia. Hal itu dilakukan dengan cara mengguyurkan miliaran dolar pinjaman lunak kepada negara-negara berkembang.
Uang ini digunakan untuk membangun proyek infrastruktur besar yang sangat dibutuhkan.
Tetapi apa yang terjadi ketika negara-negara miskin ini tidak dapat membayar utangnya kepada Cina?
Para ahli memperingatkan bahwa Cina menggunakan pinjaman sebagai bentuk jebakan, yang memungkinkan Cina untuk mendapatkan pengaruh dan kekuatan di seluruh dunia.
Sejumlah negara, dipicu oleh kasus Srilanka tahun lalu, mulai melepaskan diri dari ketergantungan mereka pada pinjaman Cina.
Nepal dan Pakistan misalnya telah membatalkan proyek-proyek infrastruktur pada tahun 2017.
Pada tahun 2011, Tajikistan dilaporkan menyerahkan tanah di perbatasannya yang disengketakan dengan Cina untuk membayar sebagian dari hutangnya.
Kumparan
(ameera/arrahmah.com)