KOLOMBO (Arrahmah.com) – Sri Lanka pada Senin (29/4/2019) akan memberlakukan larangan cadar atau niqab dan burqa bagi Muslimah dengan dalih memastikan keselamatan publik setelah serangan mematikan dan serangan keamanan pekan lalu.
Keputusan Presiden Maithripala Sirisena yang diumumkan oleh Divisi Media Presidensial pada kemarin (28/4) sepertinya tidak akan menemui perlawanan dari kaum Muslim, mengingat situasi keamanan.
Bahkan, organisasi ulama terbesar di negara ini, All Ceylon Jamiyathul Ulema (ACJU) disinyalir tidak memperlihatkan perlawanan atas larangan yang terdengar lucu tersebut.
Keputusan presiden ini muncul menyusul serangan bom bunuh diri yang diklaim oleh kelompok Negara Islam di tiga hotel mewah di Kolombo dan tiga gereja di ibukota dan dua kota lain selama perayaan Paskah pada 21 April yang menyebabkan kematian lebih dari 250 orang, termasuk 40 warga negara asing.
Dalam baku tembak dan ledakan saat penggerebekan di sebuah rumah yang diklaim persembunyian “militan” pada Jumat malam (26/4), enam pria, enam wanita, dan tiga anak dilaporkan tewas. Korban tewas dalam penggerebekan brutal pihak keamanan ini termasuk kerabat Mohamed Hashim Mohamed Zahran, yang diduga dalang serangan Paskah yang juga tewas dalam salah satu pemboman bunuh diri tersebut.
Namun, keputusan untuk melarang cadar ini datang sebagai kejutan bagi orang-orang yang mendiskusikan masalah cadar dengan Menteri pemerintah Thalatha Athukorala dan ACJU dalam beberapa hari terakhir.
Masalah niqab atau burqa muncul ke permukaan lima hari yang lalu ketika seorang anggota parlemen, Profesor Ashu Marasinghe, memindahkan RUU Anggota Pribadi yang melarang kerudung wajah karena hal itu diklaim menghambat identifikasi.
Sementara itu, mengingat situasi keamanan di Sri Lanka, ACJU mengeluarkan siaran pers yang meminta perempuan Muslim untuk melepas cadar saat diperlukan. Kelompok ini tidak mengatakan bahwa Muslimah tidak boleh memakainya.
Kemudian pada Minggu (28/4), pada pertemuan semua kepala agama untuk memilah masalah antaragama dalam konteks serangan “teroris”, seorang biarawan Buddha meminta larangan pada cadar. Tetapi pemimpin Katolik, Kardinal Malcolm Ranjith, mengatakan bahwa meminta larangan itu tidak pantas. Tidak benar mendikte umat Islam tentang praktik apa yang harus mereka ikuti dan mereka tahu apa kata agama mereka, katanya. Kardinal ingin pertemuan itu mencapai solusi yang dapat dilaksanakan berdasarkan konsensus, yang akan mempertimbangkan kebutuhan keamanan nasional yang telah dilanggar dengan sangat buruk pada 21 April.
Perwakilan Muslim mendukung kardinal seperti halnya Menteri Thalatha Athukorala yang mewakili pemerintah. Dia dengan tegas menyatakan bahwa dia akan mengikuti keputusan ACJU.
Dari berbagai perdebatan itu, keputusan untuk meminta wanita Muslim untuk tidak mengenakan niqab dihasilkan, meski tetap sebagai sebuah saran.
Setelah pertemuan berakhir dengan sukses, datanglah siaran pers dari Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe yang mengatakan bahwa dia tidak menentang larangan penggunaan cadar. Dia mengatakan bahwa pemerintah sedang membahas masalah ini dengan ACJU untuk membuat undang-undang yang sesuai tentang larangan tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, kelompok Buddhis militan, Bodu Bala Sena (BBS) telah mengagitasi larangan burqa dan abaya, selama 20 tahun terakhir.
Mengikuti permintaan tinggi dari BBS, Dewan Muslim Sri Lanka (MCSL) mengimbau para wanita Muslim untuk meninggalkan jubah hitam dan penutup kepala hitam, dan memilih gaun warna-warni dan selendang di kepala. MCSL bahkan mengatur sistem pertukaran yang hitam dengan yang berwarna-warni. Tetapi proyek itu gagal ketika tekanan dari BBS berkurang.
Namun kali ini berbeda. Larangan ini datang dari negara, bdnews24 melansir. Dan kaum Muslim tidak punya pilihan selain mengikuti situasi tersebut. Peluang adanya konfrontasi terhadap larangan ini pun sangatlah kecil. Ini pun terjadi jika ACJU tidak bersikeras menyerukan agar wanita Muslim melepaskan menutup wajah mereka. (Althaf/arrahmah.com)