JAKARTA (Arrahmah.com) – Permasalahan TKI seolah tak ada habisnya, dari tahun ke tahun seolah pemerintah tidak pernah mengambil hikmah dan pelajaran atas terjadinya berbagai kedzaliman yang dialami para TKI di negeri lain. Karena itu pembentukan satuan tugas (satgas) khusus TKI yang dibentuk pemerintah dinilai hanya merupakan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah kesemrawutan penanganan TKI.
“Pembentukan satgas, menurut saya, hanya cara by-pass yang cenderung semakin memperburuk kinerja kementerian dan badan-badan yang sudah ada,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, Jumat (24/6/2011). Imparsial merubakan lembaga pegiat Hak Asasi Manusia.
Setelah tersiarnya kabar pemancungan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, Pemerintah Indonesia kalang kabut. Eksekusi tersebut direspons publik yang menilai pemerintah lamban dalam melindungi warganya di luar negeri.
Terkait hal tersebut, Kamis (23/6) kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi tiga menteri terkait, yakni Menteri Luar Negeri Marty Natalagawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialias Akbar, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, menggelar konferensi pers di Istana Merdeka.
Salah satu instruksi yang dikeluarkan Presiden SBY adalah pembentukan satuan tugas (satgas) khusus untuk memantau warga negara yang terancam hukuman mati. Meski hal ini secara fungsional telah bekerja, tapi menurut SBY, tetap dipandang perlu untuk dibentuk satgas khusus yang akan menangani masalah itu secara terus-menerus dan fokus.
Tanpa bermaksud meremehkan peran satgas khusus yang dibentuk pemerintah, Poengky berpendapat presiden seharusnya secara berkala melakukan evaluasi terhadap kinerja menteri, termasuk pejabat terkait, dalam penanganan TKI.
“Untuk posisi menteri itu, tunjuk orang yang profesional, jangan tunjuk ketua partai yang hasilnya amburadul,” ujarnya.
Poengky menilai penanganan TKI sangat sulit karena akar masalahnya belum bisa ditangani secara total. Ia berharap pemerintah harus berani melakukan perubahan yang menyeluruh, termasuk mau mendengarkan setiap kritikan masyarakat untuk membantu pemerintah.
“Selama ini tampaknya pemerintah masih menganggap LSM sebagai tukang kritik, jadi alergi, padahal kritiknya konstruktif,” ujarnya.
Hingga kini, total warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati mencapai 303 orang. Rencananya, satgas yang dibentuk akan fokus memberikan advokasi berdasarkan prioritas.
Sementara itu, keputusan pemerintah menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi dinilai sudah tepat. Namun, pemerintah teta dituntut harus bisa menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para calon TKI yang terkena imbas kebijakan moratorium.
“Pemerintah harus bertanggung-jawab atas lapangan pekerjaan rakyatnya,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), R. Lukman Hakim Syaifudin, di Gedung DPR, Kamis (23/6).
Terkait moratorium TKI, Lukman enggan menyoroti soal tersebut karena selama ini peraturan soal perlindungan TKI sebenarnya sudah ada dan cukup baik. Namun, permasalahannya adalah soal pelaksanaan peraturan itu di lapangan, serta pengawasannya.
“Kebijakan tertulis sudah cukup baik dalam rangka memberikan perlindungan, tapi tidak ada yang mengontrol kebijakan dilaksanakan atau tidak,” kata Lukman.
Mengenai pembentukan tim terpadu perlindungan TKI, Lukman mengatakan pembentukan tim harus benar-benar bisa mengawasi instansi-instansi yang harusnya memberikan perlindungan kepada TKI.
Yang paling penting adalah, bagaimana pemerintah bisa menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi rakyatnya agar rakyat tidak memilih “hijrah” ke negeri lain dalam mencari penghidupan “yang layak”. (TI/rasularasy/arrahmah.com)