DAMASKUS (Arrahmah.com) – Pengungsi Suriah yang melakukan perjalanan pulang ke rumah melarikan diri ke Libanon setelah mendapati rumah mereka dihancurkan atau ditempati oleh orang lain, menurut LSM Libanon Sawa for Development and Aid.
Para peneliti, yang melakukan wawancara dengan sekitar 40 keluarga Suriah yang tinggal di berbagai bagian negara itu, menemukan bahwa sementara warga sipil memilih untuk pergi ke Suriah karena kondisi kehidupan yang keras di Libanon, beberapa telah kembali ke kamp setelah menemukan rumah mereka telah hancur.
Satu keluarga dari Raqqa, sebelah timur Aleppo, mengatakan kepada para peneliti bahwa mereka telah menjual barang-barang mereka di Lbanon dan kembali ke Suriah bersama enam anak mereka pada Januari 2018, setelah tidak mampu membayar biaya pengobatan. Namun, setibanya mereka di Suriah, rumah mereka sebagian runtuh dan dijarah. Beberapan milisi bersenjata menduduki rumah-rumah lain di daerah itu. Karena khawatir akan keselamatan, mereka kembali ke Libanon.
“Kami kehilangan segalanya saat kembali ke Raqqa,” kata laporan itu mengutip ucapan ayah keluarga itu.
“Biayanya $ 400 untuk transportasi ke dan dari Raqqa di Suriah, $ 233 untuk menyewa rumah di luar Raqqa, ratusan dolar untuk makanan dan air yang harga melambungkan, dan $ 900 untuk penyelundup. Kami menjual segalanya sebelum kembali ke Suriah, jadi ketika kami kembali ke Libanon, kami tidak punya apa-apa,” sang ayah tersebut menambahkan.
Wanita lain mengatakan kepada LSM bahwa dia telah kembali ke rumahnya di kota Homs di Suriah tengah dan mendapati rumah itu dihuni oleh penghuni liar yang menolak untuk mengizinkannya masuk. Dia juga mendapati bahwa dia harus membayar sekitar $ 2.500 tagihan listrik yang diakumulasikan selama enam tahun, meskipun dia tidak menggunakan rumah itu.
Meskipun janda itu memiliki dokumen yang membuktikan kepemilikannya atas properti itu, dia enggan mencari bantuan dari pihak berwenang Suriah: “Pihak berwenang adalah bagian dari masalah, jadi bagaimana saya bisa mendatangi mereka untuk meminta keadilan?”
Pengungsi juga mencatat kisah tentang seorang wanita lanjut usia yang ditahan di perbatasan Libanon oleh para pejabat Suriah selama sekitar 45 hari, diduga karena keterlibatan putranya dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Dia dilaporkan juga kembali ke Libanon tidak lama setelah itu.
Elena Hodges, seorang pejabat kebijakan, penelitian dan advokasi dengan Sawa, mengatakan, “Ada lebih banyak kisah-kisah seperti ini. Mereka tidak terdapat dalam laporan ini.”
Pada Rabu, peneliti Amnesti Internasional Diana Semaan mengatakan para pengungsi di Libanon mengalami kesulitan mendapatkan informasi yang akurat tentang kondisi di Suriah.
“Pengungsi mungkin memiliki kerabat di dalam, tetapi kerabat sangat takut untuk berbicara tentang situasi di sana, karena khawatir mereka memberikan informasi palsu,” kata Semaan. “Ada kesalahan informasi serius yang keluar dari dalam Suriah yang tidak memungkinkan pengungsi untuk membuat keputusan yang tepat,” tambahnya.
Ketika perang Suriah mulai mereda, Damaskus telah meminta para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka yang sebagian besar di bawah kendali rezim Suriah. Namun, warga Suriah masih menghadapi banyak kendala untuk kembali, termasuk dokumentasi kepemilikan properti yang diminta oleh rezim Suriah, wajib militer, dan lain-lain.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Libanon Gebran Bassil juga mendesak Suriah untuk menawarkan jaminan hak properti dan layanan militer untuk mempercepat kembalinya para pengungsi.
(fath/arrahmah.com)