JAKARTA (Arrahmah.com) – Tampaknya masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim harus berhati-hati dalam mengkonsumsi daging yang beredar di pasaran. Pasalnya, tidak semua daging yang beredar di pasaran dapat dijamin kehalalannya. Pasalnya, baru sedikit sekali Rumah Potong hewan (RPH) yang telah bersertifikasi halal. Ini ditegaskan Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim dalam perbincangan dengan Republika di Jakarta, Ahad (7/2).
Data dari LPPOM MUI menyebutkan bahwa dari 900-an RPH yang ada di Indonesia baru 115 RPH, atau sekitar 11 persen saja yang baru mendapatkan sertifikat halal. Parahnya lagi, kebanyakan RPH yang belum bersertfikat halal adalah RPH pemerintah.
“Ini yang menjadi perhatian khusus bagi kita. Dimana Dalam hal masalah kehalalan produk pangan, RPH menempati posisi yang sangat vital. Sebab dari sinilah sumber bahan baku produk makanan berasal. Bisa dibayangkan jika sumber hulunya saja belum jelas kehalalannya, bagaimana produk olahan lainnya,” tegas Lukmanul Hakim.
Kasus paling banyak terjadi di Indonesia akan masalah daging adalah pengoplosan daging. Pengoplosan ini dilakukan baik sebelum daging diolah maupun pada waktu pengolahan. Kasus maraknya dendeng dan abon sapi bercampur babi adalah salah satu bukti rawannya tindakan pelanggaran akan kualitas daging yang beredar di pasaran. Belum lagi kasus produk bakso bercampur daging babi maupun tikus. Dan masih banyak kasus-kasus penyimpangan produk daging lainnnya.
”Hal ini bisa terjadi sebab tidak adanyanya pengawasan dalam rantai distribusi daging,” tegas Lukmanul. Menurutnya yang perlu dikritisi itu adalah rumah potong hewan tidak mau disertifikasi halal. Padahal keluar dari rumah potong hewan, daging-daging yang dijual di pasar-pasar justru tidak ada registrasinya, tidak ada pengawasannya,” katanya.
Diakui Lukmanul, jika berbicara tentang RPH pemerintah, Kebijakan dinas terkait adalah salah satu pertimbangan utama. ”Terutama menyangkut kebijakan dari tingkat atas di pemerintah kota maupun kabupaten yang mengelola RPH ini. Dengan kata lain, jika kebijakan pemerintah kota belum mewajibkan pada unit RPH untuk disertifikasi halal maka RPH tersebut tidak akan disertifikasi,” tutur Lukmanul.
Menurutnya, kondisi RPH yang sudah tidak layak juga menjadi kendala lainnya. Sebagian besar RPH merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda yang sudah berumur lebih dari 50 tahun dan tidak memenuhi syarat dari segi lingkungan, hygiene maupun sanitasi. Demikian halnya dengan peralatan penyembelihan, kandang ternak maupun kondisi fisik bangunan.
Ditambahkan Lukmanul, prosedur penyembelihan dan juru sembelih juga menjadi elemen yang penting dalam penerapan standar kualitas dan kehalalan di RPH. Selain karena kurangnya pengetahuan tentang cara sembelih yang benar menurut syariat Islam, juru sembelih yang sedikit juga menjadi salah satu pertimbangan. (rep/arrahmah.com)