Menjelang petang Senin lalu, sepasukan polisi bersenjata lengkap merayap menyisir jalan ke Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota. Dua Barracuda, kendaraan lapis baja polisi, ikut bergerak memperkuat patroli polisi yang datang dengan jalan kaki itu. Ini patroli kedua setelah Kamis sebelumnya, di kelurahan itu polisi terlibat kontak tembak dengan beberapa tersangka kasus kerusuhan Poso, yang rupanya bermukim di Gebang Rejo.
Patroli kedua ini pun diwarnai insiden. Belum masuk ke bibir desa, suasana berubah riuh. Potongan batu bata tiba-tiba beterbangan menghujani satuan polisi itu. Botol-botol bersumbu berisi bensin yang terbakar meluncur dari keremangan, menghunjam ke dinding baja Barracuda. “Mereka menyerang dengan katapel dan bom molotov,” ujar seorang perwira polisi yang ikut patroli kepada Gatra.
Polisi memilih mundur. Selain menghindari bentrokan lebih jauh, mereka tidak ingin dituding menyerang warga di kala magrib. Warga Gebang Rejo tampaknya sudah bersiaga. Mereka menolak polisi memasuki wilayahnya. “Masak polisi mau patroli tidak boleh. Bahkan mereka mengancam mau menyerbu markas polres,” kata sumber di kepolisian yang menolak disebutkan namanya.
Beberapa bulan belakangan ini, warga di sekitar Pesantren Amanah, Tanah Runtuh, yang masuk Kelurahan Gebang Rejo, memang menolak kehadiran polisi. Di depan Pondok Pesantren Amanah, sentral aktivitas warga Tanah Runtuh, terbentang spanduk yang mengharamkan kehadiran polisi. Tak jarang bentrokan polisi dengan warga hanya dipicu oleh kehadiran polisi di wilayah tersebut.
Penolakan ini pun menimbulkan tanda tanya. Menurut sumber Gatra, diduga sejumlah tersangka yang masuk daftar pencarian orang (DPO) kasus kerusuhan Poso bersembunyi di wilayah itu. Mereka disinyalir masih menyimpan senjata api. “Bukan cuma pistol, juga senapan,” ujar sumber Gatra itu, seraya menyebut senapan serbu seperti M-16 dan SS-1, bahkan UZI, yang diperkirakan dikirim dari Filipina Selatan. Benarkah?
Dalam penggerebekan para tersangka DPO, Kamis pekan lalu, polisi memang menyita sejumlah senjata organik dan rakitan dari tangan para tersangka. Selain menyita sebuah senapan serbu M-16, ditemukan pula dua pucuk senapan serbu SS-1 buatan Pindad, serta satu revolver dan sebuah pelontar granat (GLM). Polisi juga menyita 13 pucuk senjata rakitan, tiga bom low explosive, dan 385 butir peluru berbagai jenis. “Senjata api itu diduga bekas kerusuhan lalu, dan kepolisian akan terus membersihkan itu (senjata api ilegal),” kata Kapolri Jenderal Sutanto.
Penggerebekan para tersangka DPO di Jalan Pulau Jawa II, Kelurahan Gebang Rejo, itu diwarnai aksi baku tembak antara anggota Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri dan para tersangka. Selain menewaskan Dedi Parsan, seorang tersangka DPO, polisi juga menangkap dua orang DPO lainnya, yaitu Anang Muftadin alias Papa Enal dan Saiman alias Sarjono. Mereka ditengarai terlibat dalam berbagai kasus teror di Poso dan Palu.
Sumber Gatra di kepolisian memastikan, di antara tiga orang yang kini ditahan terdapat pelaku penembakan Pendeta Susianti (2004) serta pemboman Pasar Maesa di Palu Selatan, awal Januari 2006. Polisi menahan tiga orang lainnya yang terlibat dalam aksi baku tembak, yaitu Upik alias Pagar, Imran, dan Abdul Muis.
Kejadian itu berlangsung di rumah Basri, yang juga masuk DPO. Namun, dalam kontak tembak itu, seorang pengasuh Pondok Pesantren Amanah, Ustad Ryan, tertembak. Menurut polisi, ustad berusia 32 tahun itu melindungi para tersangka yang akan ditangkap. “Ryan ikut melemparkan bom rakitan ke arah polisi,” kata Brigjen Polisi Anton Bachrul Alam, juru bicara Mabes Polri.
Menurut Anton Bachrul Alam, meski tak termasuk DPO kasus kerusuhan Poso, Ryan alias Santoso alias Abdul Hakim ternyata salah satu aktivis Jamaah Islamiyah (JI). Dalam catatan kepolisian, ia adalah rekan seangkatan Muchlas, sang terpidana mati kasus bom Bali, saat ikut latihan semimiliter di Afghanistan. Ryan juga dicurigai terlibat sebagai panitia rapat Markaziyah JI pasca-bom Bali I di Tawangmangu, Magetan, Jawa Timur, 18 Oktober 2002, dan di Cisarua, Jawa Barat, 7 April 2003.
Sumber Gatra di Mabes Polri membenarkan kabar tentang peran penting Ryan. Menurut perwira tinggi yang tak ingin disebut namanya ini, ia pengatur strategi sekaligus orang yang mengindoktrinasi para pemuda di Poso agar menjadi militan. “Ryan sering berhubungan dengan Abu Dujana, pimpinan baru JI di Asia Tenggara,” sumber Gatra yang kerap terlibat dalam penyelidikan kasus teror di Tanah Air itu menambahkan.
Bahkan Ryan diduga ikut merakit bom yang meledak di sejumlah wilayah di Poso belakangan ini. Bom itu pula yang disita polisi saat penggerebekan Kamis pekan lalu. Bom rakitan itu, menurut sumber Gatra, biasa disebut bom lontong: terbuat dari potongan pipa paralon yang diisi dengan black powder dan diberi sumbu. Bom ini berdaya ledak rendah alias tidak mematikan.
Meski demikian, dari sejumlah bom yang ditemukan, polisi mendapat bukti adanya tempelan gotri, butiran besi berbentuk bulat yang berbahaya jika bom meledak. “Jika terkena dalam radius 10 meter, gotri itu bisa menimbulkan luka parah, bahkan kematian,” ujar sumber Gatra.
Buntut penggerebekan itu pun berujung kematian seorang personel polisi masyarakat, Dedy Hendra. Polisi berpangkat brigadir satu ini tewas setelah dianiaya sejumlah warga yang baru saja mengantar jenazah korban penggerebekan polisi di TPU Lawangan, Poso.
Tim Pembela Muslim (TPM) yang mendampingi para tersangka kasus kerusuhan Poso langsung melakukan investigasi atas dua kejadian itu. Menurut Asludin Hatjani, Ketua TPM Poso, hasil investigasi masih belum rampung. Untuk sementara, para tersangka yang ditahan polisi, kata Asludin, hanya dijerat dengan pasal kepemilikan senjata api. “Polisi memang mencoba mengaitkan dengan aksi teror, tapi belum terbukti,” ujarnya.
Polisi, menurut Asludin, juga bertindak fair dengan menyertakan TPM dalam setiap pemeriksaan tersangka sejak ditahan. Keterlibatan TPM ini, kata Asludin, dimulai sejak para tersangka menjalani pemeriksaan pertama. “Alhamdulillah, tak ada pemaksaan atau kekerasan dalam pemeriksaan terhadap para tersangka,” katanya.
Mengenai keterlibatan Ryan alias Santoso alias Abdul Hakim, Asludin mengaku belum mengetahui peran yang dipegang ustad muda itu dalam jaringan JI maupun aksi teror lainnya. Namun, berdasarkan pengakuan para tersangka kepada Asludin, Ryan memang dikenal sebagai ustad yang sering memberikan tausiah atau nasihat agama. “Tapi mereka belum pernah mendengar bahwa Ryan pernah menjadi mujahid,” Asludin menegaskan.
Hendri Firzani, dan Aslan Laeho (Poso)
[Nasional, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 18 Januari 2007