TRIPOLI (Arrahmah.com) – Tentara Nasional Libya (LNA) sedang berperang melawan terorisme dan “Kolonisasi Turki” di Libya, kata juru bicara LNA, Ahmed al-Mismari, Kamis (25/6/2020).
Pejabat LNA mengatakan bahwa rakyat Libya memahami dan menolak “ambisi ekspansionis Turki untuk memperluas pengaruhnya atas Libya dan seluruh wilayah Arab, dengan motif kolonial yang agresif, dan untuk mengendalikan dan menjarah kekayaan rakyat” negara kaya minyak tersebut.
Al-Mismari mengatakan bahwa Turki mampu melakukannya dengan bantuan para “agen dan pengkhianat”, melalui intervensi militer langsung, dan dengan mengirim tentara bayaran dan pejuang teroris dari berbagai organisasi teroris global, melalui kesepakatan yang sangat “mengandung aib”.
Ketegangan telah meningkat di Libya dan antara negara-negara yang mendukung dua pihak yang bertikai di dalamnya, LNA, yang diperintahkan oleh Khalifa Haftar, dan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang dipimpin oleh Fayez al-Serraj.
Turki, yang mendukung GNA, juga telah meningkatkan intervensi militernya di Libya baru-baru ini. Ankara telah memberikan dukungan udara, senjata dan pejuang sekutu dari Suriah ke GNA.
Pada November, Turki menandatangani pakta kerja sama militer dengan GNA. Kedua pihak juga menandatangani kesepakatan demarkasi maritim, yang memberikan hak eksplorasi Ankara di Mediterania timur.
Kesepakatan maritim ini ditolak dan dinyatakan “ilegal” oleh banyak negara Mediterania seperti Yunani dan Siprus.
Pada awal Juni, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa dukungan negaranya untuk GNA “akan semakin berlanjut”.
Pada hari Kamis (25/6), Turki mengatakan bahwa GNA menuntut pasukan Haftar untuk menarik diri dari wilayah Sirte dan Jufra sebagai prasyarat untuk perundingan gencatan senjata.
Intervensi Turki di Libya akan memberinya pijakan di Timur Tengah yang kaya sumber daya alam, tempat hubungan internasionalnya dengan banyak negara menegang.
Isu ini sangat penting bagi Mesir, karena Mesir memiliki perbatasan yang panjang dengan Libya, mendukung LNA Haftar dan hubungannya dengan Turki telah tegang selama bertahun-tahun.
Pada hari Sabtu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan bahwa negaranya memiliki hak yang sah untuk campur tangan di Libya dan memerintahkan tentara untuk bersiap melakukan misi jika perlu.
Dia mengatakan: “Setiap intervensi langsung dari negara Mesir kini telah memperoleh legitimasi internasional,” menambahkan bahwa Mesir telah menerima “ancaman langsung” dari “milisi dan tentara bayaran teroris” yang didukung oleh negara-negara asing.
Sebelumnya pada bulan Juni, Mesir telah menyerukan gencatan senjata di Libya, namun, dalam pidatonya baru-baru ini Sisi mengatakan bahwa Mesir selalu enggan untuk campur tangan di Libya tetapi “situasinya sekarang berbeda”.
“Jika beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melewati garis depan Sirte-Jufra, ini adalah garis merah untuk kami,” katanya.
Juru bicara LNA berterima kasih kepada Mesir dan Sisi karena berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Libya, dan memberi hormat kepada semua negara Arab yang mendukung sikap Mesir, yang katanya “mencerminkan kekuatan solidaritas Arab dalam menghadapi terorisme, dan penjajahan.” (Althaf/arrahmah.com)