GAZA (Arrahmah.com) – Blokade “Israel” yang menyebabkan keterbatasan di Gaza membuat warga wilayah Palestina itu harus putar otak, salah satunya mencari pembangkit energi alternatif untuk mengganti listrik yang kian langka dan mahal. Hasilnya kini, ribuan warga Gaza tidak lagi mengandalkan listrik yang dijatah “Israel”, namun menggunakan pembangkit listrik tenaga surya.
Kini panel surya bisa dilihat di banyak tempat di Gaza, mulai dari sekolah, rumah sakit, toko, bank, atau masjid. Bahkan dengan sedikit modifikasi, panel surya bisa dipasang di balkon-balkon rumah.
Panel surya tidak hanya dapat diandalkan dan murah untuk kesediaan energi jangka panjang, tapi dalam beberapa kasus juga menyelamatkan nyawa. Hal ini dialami oleh Tamer al-Burai, warga Gaza.
Tamer mengalami gangguan tidur yang berakibat pada gangguan pernafasannya. Pria 40 tahun ini harus tidur dengan ventilator oksigen saat malam, membutuhkan listrik yang besar.
“Bagi saya, listrik bukan hanya soal lampu dan hiburan, tapi masalah hidup dan mati,” kata Burai, dikutip Reuters pekan ini.
Sebelum beralih ke tenaga surya, Burai rogoh kocek 18.000 shekels atau Rp60 juta per tahun untuk bahan bakar generator yang diandalkan saat mati listrik. Pemadaman listrik di Gaza hampir setiap hari terjadi akibat kekurangan daya.
“Saya membayar US$5.000 (Rp65 juta) untuk membeli panel surya bagi seluruh rumah, dan ini membuat saya berhemat hingga bertahun-tahun,” ujar Burai.
Gaza memiliki tiga sumber listrik: sekitar 60 Megawatts adalah cadangan di wilayah itu, 30MW diimpor dari Mesir, sementara 120MW disuplai “Israel”. Pemadaman rutin terjadi, dan generator pembangkit listrik sangat mahal dan sering bermasalah.
Nabeel Marouf, manajer Perusahaan Kontraktor dan Teknisi Energi Terbarukan Gaza mengaku kewalahan menerima permintaan panel surya. Dua tahun lalu, kata dia, kliennya hanya puluhan. Sekarang, mencapai ribuan.
“Masyarakat putus asa mencari solusi krisis energi, lalu ada krisis bahan bakar,” kata Marouf.
Marouf menjelaskan, sebagian besar perangkat surya, termasuk baterai dan pengendali, diimpor dari China, dibuat oleh perusahaan Jerman, Kanada atau Amerika Serikat. Barang-barang ini diimpor dari Israel, lalu masuk ke Gaza melalui satu-satunya perlintasan yang diperbolehkan.
Harganya beragam mulai dari US$1.500 hingga US$30.000, tergantung kebutuhan, lansir CNN (10/3/2016). (fath/arrahmah.com)