ANKARA (Arrahmah.com) — Merosotnya lira Turki masih berlanjut dan terus mencatat rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, pada perdagangan hari ini, Jumat (12/11/2021) lira nyaris menyentuh level 10/US$.
Melansir Reuters (12/11), lira sempat jeblok nyaris 1% ke 9,9843/US$, sebelum terpangkas dan berada di 9,9207/US$ atau melemah 0,31% di pasar spot. Sepanjang tahun ini hingga ke rekor terlemah tersebut, lira sudah jeblok lebih dari 34%.
Buruknya kinerja lira terjadi akibat kondisi internal dan eksternal. Dari internal, sikap Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang menyebut suku bunga tinggi adalah “biangnya setan” menjadi asal muasal jebloknya lira.
Sikap Erdogan tersebut “diterjemahkan” oleh bank sentral Turki (TCMB) dengan memangkas suku bunga secara agresif, padahal inflasi di Turki sedang tinggi.
Di awal tahun ini, lira sebenarnya sempat menjadi mata uang terbaik di dunia, saat TCMB dipimpin Naci Agbal. Tetapi pada bulan Maret lalu Agbal dipecat oleh Erdogan tanpa alasan pada Maret lalu. Pasar melihat pemecatan tersebut dilakukan akibat Agbal yang agresif menaikkan suku bunga.
Agbal hanya menjabat selama empat bulan saja, dan selama periode tersebut suku bunga dinaikkan sebanyak 875 basis poin menjadi 19%.
Bukan pertama kalinya Erdogan mengutak-atik posisi strategis di TCMB. Sejak 2019, Erdogan sudah tiga kali memecat Gubernur TCMB. Ketika gubernur berseberangan dengan pandangannya, maka hampir pasti akan kehilangan jabatannya. Hal ini membuat independensi bank sentral Turki selalu dipertanyakan oleh pelaku pasar.
Erdogan kemudian menunjuk Sahap Kavcioglu sebagai gubernur TCMB. Ia punya latar belakang bankir dan anggota parlemen dari Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AK Parti) yang dipimpin oleh Erdogan. Seperti halnya Erdogan, Kavcioglu punya pandangan yang serupa yaitu suku bunga tinggi adalah ‘biangnya setan’.
Alhasil, semenjak menjabat Kavcioglu agresif menurunkan suku bunga meski inflasi sangat tinggi. Terbaru, pada Kamis lalu TCMB memangkas suku bunga sebesar 300 basis poin menjadi 16%, sementara inflasi di Turki saat ini di kisaran 19%.
Tekanan bagi lira semakin besar setelah hasil polling Reuters terhadap para ekonom menunjukkan suku bunga akan kembali dipangkas sebesar 100 basis poin menjadi 15% pada pekan depan. Alhasil, kemerosotan lira tak terbendung.
Dolar AS sedang kuat-kuatnya di pekan ini. Indeks dolar AS Rabu lalu melesat nyaris 1%, kemarin 0,32% dan hari ini naik lagi sebesar 0,09% ke 95,265 yang merupakan level tertinggi dalam 16 bulan terakhir.
Melesatnya indeks dolar AS terjadi setelah inflasi di AS dilaporkan terus menanjak.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu lalu melaporkan CPI bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin di hari Rabu. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 43,2% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% – 0,5% pada bulan Juli tahun depan.
Selain itu di akhir 2022, pasar melihat ada probabilitas sebesar 31,4% suku bunga berada di 0,75%-1,00%.
Artinya, pasca rilis data inflasi tersebut, pasar melihat The Fed berpeluang menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan. Alhasil rupiah melemah tipis-tipis 2 hari beruntun, sebelum menguat hari ini.
Ketika The Fed diperkirakan akan agresif menaikkan suku bunga di tahun depan, bank sentral Turki justru agresif menurunkan. Perbedaan outlook kebijakan moneter tersebut membuat kemerosotan lira tak terbendung.(hanoum/arrahmah.com)