ANKARA (Arrahmah.com) — Nilai tukar Lira Turki kembali merosot lebih dari 6,6% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu kemarin. Dengan demikian, dalam 3 hari total Lira sudah jeblok lebih dari 15%, setelah meroket 54% sepanjang pekan lalu.
Sepanjang tahun ini, Lira masih ambrol lebih dari 40%. Buruknya kinerja Lira tersebut menjadi salah satu pemicu melesatnya inflasi di Turki.
Inflasi di Turki pada bulan November mencapai 21,31% year-on-year (yoy) melesat dari bulan sebelumnya 19,89% (yoy) dan menjadi yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir.
Hasil survei yang dilakukan Reuters (28/12/2021) menunjukkan inflasi di bulan ini akan menembus 30%, tepatnya 30,6% (yoy). Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Mei 2003.
Angka 30,6% merupakan median survei terhadap 13 ekonom. Survei tersebut menunjukkan inflasi di rentang 26,4% hingga 37,3%.
Harga makanan di Turki menjadi salah satu yang naik tajam. Konfederasi Serikat Buruh Turki melaporkan harga makanan meroket hingga 25,75% di bulan ini dari bulan November. Sementara jika dilihat sejak Desember 2020, harga makanan melesat 55% (yoy).
Tingginya inflasi tidak lepas dari jebloknya lira setelah bank sentral Turki (TCMB) memangkas suku bunga acuan selama 4 bulan beruntun sebesar 500 basis poin menjadi 14%. Sementara inflasi sedang tinggi-tingginya.
Lazimnya ketika inflasi tinggi bank sentral akan menaikkan suku bunga untuk mengurangi jumlah uang beredar, sehingga inflasi bisa diredam. Tetapi yang dilakukan TCMB justru sebaliknya. Alhasil suku bunga kini di bawah inflasi yang membuat nilai tukar lira tergerus.
Bukan tanpa alasan TCMB agresif memangkas suku bunga. Kebijakan tersebut bermula dari pandangan Presiden Recep Tayyip Erdogan jika suku bunga tinggi merupakan “biangnya setan”. Erdogan mempercayai suku bunga tinggi malah akan memperburuk inflasi.
TCMB pun “asal bapak senang” dan memangkas suku bunga secara agresif. Sebab, jika kebijakan TCMB berbeda dengan pandangan Erdogan, maka gubernurnya akan dipecat.
Presiden Erdogan yang berbicara pada Ahad (19/12) kemarin mengatakan pemangkasan suku bunga yang dilakukan Turki bukan merupakan penyebab krisis mata uang, tetapi karena adanya “serangan tidak beralasan”.
“Penurunan suku bunga yang terbatas bukan penyebab semua ini,” kata Erdogan sebagaimana dilansir Reuters.
“Nilai tukar merupakan senjata yang sedang dimainkan di Turki, dan ketika lira mulai stabil begitu juga dengan inflasi, dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat pintu besar terbuka untuk Turki yang modern,” tambahnya.
Pemimpin yang sudah berkuasa selama 20 tahun ini juga mengatakan kebijakan yang membuat lira jeblok merupakan bagian yang akan menentukan kesuksesan “perang kemerdekaan ekonomi”.
Kebijakan tersebut dikatakan akan mendorong ekspor, menambah tenaga kerja, investasi dan pertumbuhan PDB.
Erdogan juga mengatakan dulu ia sukses menjinakkan inflasi, dan kini ia yakin bisa melakukannya lagi.
“Cepat atau lambat, sama seperti dulu ketika saya mampu menurunkan inflasi hingga 4% (di tahun 2011), kita mengulangi hal tersebut. Tetapi, saya tidak ingin masyarakat saya, orang-orang saya, dihancurkan oleh suku bunga tinggi,” kata Erdogan. (hanoum/arrahmah.com)