JAKARTA (Arrahmah.com) – Setelah dihujat berbagai kalangan tentang kekejaman dan arogansi Densus 88, kini terbukti bahwa Densus salah tangkap dan membunuh orang secara serampangan. Dari 21 orang yang dituduh teroris Mabes Polri resmi hanya menahan 13 tersangka teroris dan perampok Medan. Sementara, lima orang yang sempat ditangkap, kini dibebaskan.
“13 tersangka ditahan di (Rutan) Kelapa Dua. Kalau yang 5 sudah dikembalikan sesuai dengan asalnya,” kata Wakadivhumas Mabes Polri Brigjen Pol I Ketut Untung Yoga Ana saat jumpa pers di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jaksel, Senin (27/9/2010).
Yoga mengatakan, 5 orang yang dibebaskan yakni Kasman Hadiyono, Fero Rizky Addrian alias Eki alias Pengkor, Dicky Ilvan Alidin alias Kecik, Wahono alias Bawor dan Hendri Susanto. “Setelah didalami penyidik tidak menemukan bukti yang cukup terkait. Sehingga sejak minggu 5 orang itu dibebaskan,” jelas Yoga.
Menurut Yoga, penggerebekan Densus 88 di Sumatera Utara telah menangkap 21 orang. 13 orang ditetapkan tersangka, 5 orang dibebaskan. “3 orang tewas,” kata Yoga.
13 nama yang ditetapkan tersangka dan ditahan yakni, Jumirin alias Sobirin alias Abu Azam, Khairul Ghazali alias Abu Yasin, Marwan alias Wak Nong alias Wak Geng, Suryo Saputro alias Umar alias Siam, Beben Khairul Rizal alias Abah alias Abi Jihad alias Ijal, Agus Sunyoto alias Gaplek alias Plak, Bagas alias Deri, Nibras alias Arab alias Amir, Suraji alias Agus Iwan alias Agus Marwan alias Ahmad alias Hasan, Heri Kuswanto alias Ari alias bin Suratman, Abdul Haris Munandar alias Aris, Jaja Miharja Fadillah alias Syafrizal.
Sementara 3 orang yang tewas tertembak yakni Dani alias Ajo, Yuki Wantoro alias Rozak, Ridwan alias Iwan. Para tersangka dikenakan pasal berlapis tindak pidana terorisme dan perampokan.
MMI Sumut Ancam Praperadilankan Densus
Sementara itu dari Medan, Lajnah Perwakilan Wilayah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Sumatera Utara (Sumut) masih mencari tahu keberadaan bendaharanya, Kasman Hadiyono alias Yono (43). Kendati mendapat informasi Kasman ditangkap Densus 88 Anti Teror terkait sangkaan terlibat kasus terorisme, namun mereka masih menunggu adanya pemberitahuan secara resmi.
Kuasa Hukum MMI Sumut, Julheri Sinaga menyatakan, mereka sudah menyiapkan langkah-langkah hukum untuk mempraperadilankan pihak kepolisian terkait penahanan Kasman Hadiyono. Namun ada kendala, tentang kepastian siapa yang melakukan penangkapan itu. Dalam pemberitaan media massa, memang disebutkan Densus 88, namun untuk aspek hukum di pengadilan, bukti kuat sangat diperlukan.
“Begitu kita mendapat kepastian, maka praperadilan akan segera diajukan,” kata Sinaga kepada wartawan di Medan, Senin (27/9).
Sejauh ini, baik MMI Sumut maupun pihak keluarga masih belum mendapat informasi tempat penahanan Hadiyono yang ditangkap di Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Menyusul adanya informasi para tersangka dibawa polisi ke Jakarta, maka MMI Sumut sudah berkoordinasi dengan MMI Jakarta untuk mencoba bertemu langsung dengan Hadiyono.
“Tapi sampai sekarang masih belum bisa. Kita masih terus berupaya,” tukas Julheri sambil menyatakan, MMI tidak percaya Kasman terlibat dalam terorisme. Sebab dalam kehariannya Kasman hanya bekerja sebagai tabib, atau melakukan pengobatan secara tradisional.
Kasman Hadiyono ditangkap Densus 88 saat berada di rumah iparnya Marwan, di Puloagas, Kecamatan Hamparan Perak, pada Minggu (19/9). Pada saat yang sama Densus juga menangkap tersangka lainnya di Sumut. Secara keseluruhan ada 18 orang yang ditangkap, dan tiga di antaranya ditembak mati.
Komisi III: Tindakan Densus Langgar HAM
Rupanya hujatan terhadap Densus 88 datang juga dari anggota Komisi Hukum DPR Nasir Jamil yang menyayangkan tindakan personel Detasemen Khusus 88 Antiteror yang kerap menyalahi aturan. Nasir juga mengecam tindakan Densus 88 yang melakukan penyergapan terduga teroris Ghazali saat sedang menunaikan salat di Tanjung Balai Sumatera Utara.
“Kalau benar informasi Ghazali sedang salat lalu disergap Densus itu melanggar UUD, karena ibadah adalah hak asasi yang dimiliki umat beragama. Kerja Densus harus sesuai prosedur tidak boleh semena-mena,” kata Nasir kepada okezone di Gedung DPR, Jakarta, Senin, (27/9).
Menurut politisi PKS ini, dugaan kesewenangan Densus 88 kerap disuarakan pegiat HAM seperti Kontras dan Komnas HAM. Karenanya dia mendesak, Kapolri melakukan pembenahan internal termasuk memperketat standar prosedur operasional saat bertugas.
“Apapun namanya dia selama termasuk dalam kategori aparat penegak hukum harus mengikuti kaidah hukum, jangan sampai melanggar HAM. Catatan ini perlu menjadi bagian dalam pelaksanaan tugas mereka,” jelas dia.
Nasir juga mendukung langkah Kementerian Hukum dan HAM mengkaji dugaan pelanggaran HAM oleh personel Densus 88. Dia menyarankan kajian ini dilakukan secara menyeluruh dengan sejumlah lembaga atau aktivis HAM seperti Komnas HAM dan Kontras.
Keluarga Ustadz Ghazali Akan Gugat Mabes Polri
Di lain tempat, Keluarga terduga teroris Khairul Ghazali, berencana menggugat Densus 88, Polri, dan Presiden, secara pidana dan perdata. Hal ini terkait penangkapan Ghazali oleh Densus 88 di Tanjung Balai, Sumatera Utara beberapa waktu lalu.
“Kami menduga ada pelanggaran HAM saat penggerebekan. Antara lain penangkapan saat penghuni rumah salat Magrib, lalu diseret, dan mereka diinjak-injak di teras rumah,” jelas Erwin Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM), selaku kuasa hukum keluarga Ghazali di Medan, Senin (27/9).
Erwin menjelaskan, senjata api yang dijadikan barang bukti oleh polisi disinyalir hanyalah rekayasa. Karena istri Ghazali tidak pernah melihat senjata di rumahnya. Apalagi, pihak kepolisian baru memperlihatkan pistol tersebut di Medan, bukan di lokasi kejadian.
Selain itu, Erwin juga menduga dua pria tewas yang ditembak tim Densus 88 digunakan untuk menutupi kebenaranan materil bersalah atau tidaknya Ghazali. Hal ini terkait statement Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang menyatakan Ghazali sebagai teroris.
Belum lagi, kata dia, penangkapan yang dilakukan tim Densus 88 tidak prosedural. Karena sesuai dengan pasal 18 ayat 1 KUHAP, setiap orang yang ditangkap harus ditunjukkan surat perintah penangkapan. Namun saat penggerebekan, tim Densus 88 tidak menunjukkan surat perintah penangkapan terhadap Ghazali.
Erwin menambahkan, mereka juga akan menggugat Polresta Tanjung Balai terkait penahanan istri Ghazali, Kartini Panggabean (30). Meskipun sudah dibebaskan Minggu (26/9) kemarin, Kartini bersama dua temannya dan anaknya yang masih balita sempat ditahan selama tujuh hari di Mapolresta Tanjung Balai.
Dia juga mempertanyakan status hukum ketiga perempuan yang ditahan tersebut. Menurut Erwin, jika sebagai saksi, pihak kepolisian harus menunjukkan surat penetapan dari pengadilan untuk memulai penyelidikan.
“Tapi itu tidak ada, sehingga tindakan Polresta Tanjung Balai tersebut bertentangan dengan hukum. Apalagi, tempat yang disediakan untuk mereka hanya ruangan 2 x 2,5 meter yang dinilai tidak layak huni,” pungkasnya. (voa islam/arrahmah.com)