(Arrahmah.com) – Salah satu indikasi seorang muslim yang berkah ilmunya dapat terlihat dari cerminan akhlaknya yang mulia dalam kehidupan sehari-hari. Inilah sebenarnya yang menjadi dasar kehidupan dan poros dakwah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Allah telah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad, sebagai manusia yang memiliki akhlak mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)
Nabi menjelaskan ayat tersebut dalam sabda beliau,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, No. 25472)
Seseorang bertanya kepada Imam Syafii perihal bagaimana besarnya keinginan dan kesungguhan beliau dalam belajar dan memahami adab. Beliau menjawab,
أَسْمَعُ بِالْحَرْفِ مِنْهُ مِمَّا لَمْ أَسْمَعْهُ فَتَوَدُّ أَعْضَائِي أَنَّ لَهَا أَسْمَاعًا تَتَنَعَّمُ بِهِ
“Ketika aku mendengarkan satu huruf saja tentang adab yang belum pernah aku dengar sebelumnya, maka aku rasakan seluruh anggota tubuhku menginginkan untuk mempunyai pendengaran, sehingga mereka mendengarnya dan mendapatkan nikmatnya adab.”
Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana keinginanmu mempelajari adab itu?”
Imam Syafii rahimahullah menjawab,
طَلَبُ الْمَرْأَةِ الْمُضِلَّةِ وَلَدَهَا وَلَيْسَ لَهَا غَيْرُهُ
“Seperti seorang ibu yang sedang mencari putra satu-satunya yang hilang.”
Lalu beliau berkata,
لَيْسَ العِلْمُ مَا حُفِظَ، إِنَّما العِلْمُ مَا نَفَعَ
“Ilmu bukanlah diukur dengan apa yang telah dihafal oleh seseorang, tetapi diukur dengan apa yang bermanfaat bagi dirinya.” (Manaqib asy-Syafi’i, Al-Baihaqi, 20)
Sebaliknya, indikasi ilmu yang didapat oleh seorang muslim tidak berkah tercermin dari akhlaknya yang buruk: selalu berprasangka buruk, merasa diri paling benar, bahkan melakukan vonis kepada saudaranya secara serampangan dengan menuruti hawa nafsu. Sehingga perilakunya kurang sedap dipandang mata, malas beruluk salam, selalu bermuka masam, dan sangat mudah mencela saudaranya. Semoga kita terhindar dari buruknya akhlak semacam ini.
Minimal ada 5 dasar adab atau akhlak mulia yang harus mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari setiap muslim.
Pertama: Saling Tersenyum
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR. At-Tirmizi No. 1879)
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan tersenyum dan menampakkan muka manis di hadapan seorang muslim. Dalam hadits yang lain,
“Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.”
Percayalah! Semakin banyak senyum maka hawa positif akan bertebaran di sekitarnya. Dan orang yang tersenyum akan terkesan lebih ramah dan lebih bisa dipercaya.
Kedua: Menebar Salam dan Bertegur Sapa
Mengucapkan salam merupakan sebab terwujudnya kesatuan hati dan rasa cinta di antara sesama muslim, sebagaimana kenyataan yang kita temukan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim No. 81)
Ingat! Pengucapan salam ini ditunjukkan kepada setiap muslim yang Anda kenal ataupun tidak. Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ، وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Amalan Islam apa yang paling baik?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.” (HR. Al-Bukhari No. 6236)
Setelah memberi salam tentunya kita juga saling bertegur sapa. Orang yang selalu berhias dengan akhlak mulia tidak akan keberatan untuk menyapa semua orang sekalipun terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya. Orang yang memiliki akhlak mulia selalu menghindari rasa ingin disapa terlebih dahulu. Dan biasanya tidak membutuhkan pengakuan orang atas kinerjanya selama ini.
Ketiga: Menjauhi Prasangka
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian prasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah memata-matai, mencari-cari kesalahan atau kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Jauhilah prasangka. Sebab, prasangka adalah ucapan yang paling dusta, janganlah kalian mencari-cari kesalahan, janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling marah, janganlah kalian saling membelakangi, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhari No. 6229)
Keempat: Menjauhi Sifat Dengki dan Benci
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Dari Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Kalian jangan saling mendengki, jangan saling memata-matai, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya.
Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap orang muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim No. 2564)
Kelima: Toleransi Terhadap Perbedaan Pendapat
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafii kepada Yunus ash Shadafi yang terkenal dengan nama Abu Musa,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lam an-Nubala’, adz-Dzahabi, 10/16)
Perbedaan furu’ (permasalahan cabang) adalah sebuah keniscayaan yang antar umat Islam harus saling berlapang dada. Maka perhatikan baik-baik atsar dari Qatadah rahimahullah ini. Beliau berkata,
مَنْ لَمْ يَعْرَفِ الِاخْتِلَافَ لَمْ يَشُمَّ رَائِحَةَ الْفِقْهِ بِأَنْفِهِ
“Barang siapa yang belum mengetahui (adanya) ikhtilaf maka hidungnya belum mencium wanginya perkara fikih.” (Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlih, Abu Amr al-Qurthubi No. 1520)
Betapa urgennya perkara akhlak ini, sehingga pantas saja jika para salaf ash-shalih mendahulukan untuk mempelajari adab daripada ilmu (syariat) itu sendiri. Seorang ulama salaf menasihati anaknya,
يَا بُنَىَّ لِأَنْ تَتَعَلَّمَ بَابًا مِنْ الأَدَبِ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ تَتَعَلَّمَ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ العِلْمِ
“Wahai anakku, aku lebih suka melihatmu mempelajari satu bab tentang adab dibanding mempelajari tujuh puluh bab tentang ilmu.” (Tazkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim, Ibnu al-Jama’ah al-Kinani, 2)
Al-Mikhlad bin Husain berkata kepada Imam Ibnul Mubarak,
نَحْنُ إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الحَدِيثِ
“Kita jauh lebih membutuhkan banyaknya adab dibanding banyaknya hadits.”
Dalam kitab Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlih karya Abu Amr al-Qurthubi (No. 816) disebutkan, Al-Laits bin Sa’ad sering menasihati para pelajar hadits,
تَعَلَمُوْا الحِلْمَ قَبْلَ العِلْمِ
‘Pelajarilah kelembutan hati dan kerendahan jiwa sebelum kalian belajar ilmu.’”
Imam Ibnul Mubarak berkata,
تَعَلَّمْتُ الأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً، وَتَعَلَّمْتُ العِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً
“Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.”
Semua ini disampaikan oleh para ulama salaf di zaman yang umat manusia masih sangat dekat dengan ulama dan ahlul ilmi yang menjaga adab dan ilmu mereka. Bagaimana dengan zaman akhir yang kemungkaran dan kebodohan telah merajalela?
Sumber: Dakwah.id
(*/Arrahmah.com)