DERNA (Arrahmah.id) – Diperkirakan lebih dari 5.000 orang tewas dan ribuan lainnya hilang setelah Badai Daniel menghancurkan Libya timur. Kota Derna adalah kota yang paling terkena dampaknya, dengan kerusakan parah akibat runtuhnya dua bendungan.
Beberapa analis Libya mengatakan bahwa pemerintah setempat meminta izin dari Tentara Nasional Libya pimpinan panglima perang Khalifa Haftar untuk mengevakuasi Derna sebelum badai terjadi, tetapi hal ini ditolak.
Menurut pakar Libya Jalel Harchaoui, “tentara malah menyuruh masyarakat untuk tinggal di rumah”. The New Arab menghubungi Harchaoui untuk memberikan komentar lebih lanjut tetapi belum menerima tanggapan.
Setelah penggulingan mantan dictator Libya Muammar Gaddafi pada 2011, Derna menjadi benteng milisi Islam yang kemudian berperang melawan Khalifa Haftar, tetapi pasukan Haftar mengklaim telah mengambil kendali penuh atas kota tersebut pada 2018.
Perpecahan politik antara Libya timur dan barat, yang diperintah oleh dua pemerintahan yang bersaing, berdampak buruk pada penyediaan layanan dan bantuan bencana, kata presiden Dewan Nasional Hubungan AS-Libya, Hani Shennib, kepada Aljazeera.
Dia menambahkan bahwa Libya bagian timur memiliki sejarah panjang kebencian selama bertahun-tahun karena dianggap diabaikan dan bahwa bantuan yang diberikan oleh individu dari barat tidak disambut dengan hangat.
“Meskipun populasinya 100.000 jiwa, Derna tidak memiliki rumah sakit yang berfungsi penuh. Saat ini, vila sewaan dengan lima kamar tidur adalah satu-satunya fasilitas medis yang melayani kota ini,” kata Shennib. Pengabaian ini terjadi sejak 42 tahun pemerintahan Gaddafi.
Badai mengerikan tersebut, yang mungkin telah menewaskan hingga 10.000 orang, merupakan bencana alam paling parah yang pernah dihadapi Libya dalam lebih dari empat dekade. (zarahamala/arrahmah.id)