(Arrahmah.com) – HARI-HARI REFORMASI sekarang ini, rakyat Indonesia sedang menyaksikan kemungkar-an kolektif yang diperagakan secara sistematis, melalui budaya, seni, politik dan hukum. Seolah-olah kita kembali menyaksikan episode sejarah yang menayangkan peristiwa jahiliyah pada permulaan dakwah Islam. Ketika itu, kehidupan manusia mengalami zaman kegelapan, dimana prilaku manusia menebarkan ketakutan, kedzaliman, kebejatan moral dan kebiadaban. Hidup seakan tanpa harapan.
Tragisnya, berbagai bentuk kemungkaran itu, seperti korupsi, dekadensi moral, budaya mungkarat, penistaan agama, aliran sesat, moral bejat dll, atas nama demokrasi dan hak asasi manusia, dianggap sebagai hal yang wajar. Sikap demikian itu, digambarkan dalam Al-Qur’an:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika setan menampakkan perbuatan sesat orang-orang kafir sebagai hal yang menyenangkan bagi mereka…” (Qs. Al-Anfal, 8:48).
Kemungkaran dianggap sebagai kebebasan berekspresi, dan penolakan terhadap syari’ah serta penistaan agama dianggap kebebasan berpendapat. Sehingga eksistensi kaum mukmin yang hendak memberantas kemungkaran, malah dituding sebagai orang yang memperalat agama untuk tujuan tertentu, bahkan dinilai sebagai orang-orang yang tertipu oleh agamanya.
Begitulah Al-Qur’an al-Karim menginformasikan kepada kita, dalam firman-Nya:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya penuh kedengkian kepada kalian berkata: “Orang-orang mukmin itu tertipu oleh agamanya”. Sungguh siapa saja yang selalu bertawakal kepada Allah, Allah tidak akan jadikan dia hina. Allah Mahaperkasa untuk membantu kaum mukmin, dan Mahabijaksana dalam memberi kemenangan kepada kaum mukmin.” (Qs. Al-Anfal, 8: 49)
Visualisasi setan ini memunculkan manusia setan yang menganggap penolakan terhadap syari’at Islam di lembaga negara sebagai hal yang benar, demokratis dan modern. Bahkan ada manusia munafiq, yang kemudian diidentikkan dengan kaum liberal, yang menggemari lesbian, gay, melakukan tindak korupsi, narkoba, tanpa melepas baju Islam. Mereka merusak citra Islam dan mendistorsi ajarannya, tapi tidak merasa bersalah.
Gelombang liberalisme dan Islam, kini sedang bertarung dalam ranah ideologi, politik, ekonomi dan prilaku sosial kemasyarakatan. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam sedang dihadapkan pada realitas yang memprihatinkan, memosisikan umat Islam sebagai obyek penderita melalui opini global dan stigma radikal. Bahkan identitas Islami, seperti jenggot, jilbab, celana komprang, jidad berbekas, dianggap sebagai ciri radikalisme. Istilah syari’at Islam, jihad fi sabilillah, juga dilabeli dengan terminologi terorisme. Umat Islam digiring ke arah kubangan demokrasi dan setanisasi liberalisme.
Akibatnya, tidak sedikit umat Islam yang terpenjara oleh stigma global itu. Sehingga muncullah fakta yang memprihatinkan. Ada orang Islam yang menista ajaran Islam. Mengaku beragama Islam, tapi meragukan kemampuan Islam menyelesaikan problem kehidupannya? Atas nama liberal (kebebasan) ajaran Islam dianggap diskriminatif terhadap perempuan, dan dianggap penyebab KDRT akibat tidak adanya kesetaraan gender. Bahkan sejumlah ayat Qur’an dipetakan menjadi ayat-ayat liberal, moderat dan radikal.
Atau seperti fakta yang amat memprihatinkan, tentang data surve pilkada cagub dan cawagub DKI belum lama berselang. Menurut data surve, jumlah umat Islam di DKI 88,5%. Dari jumlah tersebut, yang tahu bahwa Islam mengharamkan umat Islam mengangkat pemimpin dari golongan kafir hanya 44%, yang setuju dengan pemimpin kafir 50%, dan yang tidak tahu 6%. Apabila diperluas lagi, di seluruh Indonesia berapa persenkah umat Islam yang mengerti kewajiban melaksanakan syariat Islam secara kaffa? Dan berapa persen yang tidak mengerti atau tidak peduli?
Kenyataan ini menunjukkan kegagalan dakwah serta amar makruf nahyu mungkar. Lalu dakwah seperti apa yang disampaikan oleh para da’i, ulama, kyai, sehingga pemahaman umat Islam begitu lemah dan mengambang tentang Islam, bahkan banyak diantara umat Islam yang menganggap mengikut sertakan Islam dalam perbaikan Indonesia sebagai perbuatan SARA?
Definis Liberalisme
Liberalisme atau liberal adalah sebuah paham yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan hak, yang bermimpi akan lahirnya suatu masyarakat yang bebas, baik dalam cara berpikir ataupun bertindak bagi setiap individu. Oleh karena itu, liberalisme menolak adanya pembatasan dalam segala hal, terutama oleh negara dan agama.
Di Barat yang mula-mula muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, namun dari situ lahir dan tumbuh liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism.
Secara ideologis, liberalisme adalah suatu paham yang membebaskan diri dari ajaran agama. Mereka mengakui adanya tuhan tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Atau beragama tapi tidak mau tunduk pada ajaran Nabi. Bertuhan tanpa agama dan beragama tanpa syari’at.
Sedangkan secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang memberikan superioritas individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).
Dalam konteks sosial, liberalisme diartikan sebagai etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C. A. J. Distributive Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).
Ciri Pemikiran Liberal
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh subur di bawah naungan sistem demokrasi. Karena keduanya sama-sama mendasarkan pada kebebasan mayoritas, kebebasan berpikir, kesetaraan gender, emansipasi.
Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat adalah sbb:
Pertama, percaya pada Tuhan, tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Mereka tidak mau terikat oleh apapun selain untuk kepentingan hawa nafsunya. Dalam liberalisme, konsep Tuhan (teologi) dan doktrin agama, merupakan persoalan yang dianggap mengganggu kebebasan. Karena itu, sebagaimana kaum atheis, kaum liberal juga mengejek dengan mengatakan ‘tuhan telah mati’. Manusia yang tidak terikat ajaran agama (Islam) bagai binatang liar, susah dikendalikan, sesat dan menyesatkan.
“Wahai Muhammad, apa pendapatmu tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? Allah menyesatkan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah memateri pendengaran mereka, hati mereka, dan memasang tabir di depan penglihatan mereka. Karena itu, siapakah yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah? Mengapa orang-orang kafir itu tidak mau berpikir?” (Qs. Al-Jatsiyah, 45: 23).
Kedua, memisahkan antara ajaran agama dan moral. Mereka berkesimpulan bahwa orang yang tidak beragama sekalipun dapat menjadi moralis.
Oleh karena itu, kaum liberal seperti Irshad Manji yang menulis buku berjudul Allah, Cinta dan Kebebasan, dianggap seorang moralis karena sikapnya pada sesama manusia bersifat humanis, sekalipun pemikiran dan prilakunya menghina Allah dan menista Nabi Muhammad Saw. Dalam bukunya, ia mempropagandakan bahwa di dalam AlQuran terdapat ‘ayat-ayat setan’ yang menyerukan penyembahan terhadap berhala, dan kemudian dihapus oleh Muhammad, sehingga Al-Qur’an tidak steril dari kesalahan.
Gagasan liberalisme berangkat dari olah akal sesat dan bejat. Agenda liberalisme dilakukan melalui gaya hidup yang hedonistik. Gaya hidup hedonis yang mengusung kebebasan berperilaku seperti free sex sebagai propagandis zionisme yang hendak merusak masyarakat.
Irshad Manji, tokoh liberalis penyeru homoseksual dan lesbian terang-terangan memperjuangkan kaum gay dan menghujat Islam. Propaganda kaum liberal semakin gencar di negeri-negeri kaum muslim, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, mereka yang berpaham dan berprilaku bebas seperti itu haram jenazahnya dishalatkan, sebagaimana firman Allah:
“Wahai Muhammad, janganlah kamu menshalati jenazah seorang pun dari kaum munafik untuk selama-lamanya. Janganlah kamu berdiri di kubur orang munafik untuk mendo’akannya. Mereka itu kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafiran.” (Qs. At-Taubah, 9: 84)
Ketiga, ingkar sunnah, tidak percaya pada ajaran Nabi (sunnah). Segala hal harus dikritisi, bukan menerima secara dogmatis.”Ketika berpandangan bahwa wujud Tuhan tidak dapat dibuktikan, maka keharusan adanya nabi untuk memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia tidak dapat diterima,” kata para dedengkot liberal.
Misalnya, kasus shalat campur ala Amina Wadud. Pada Jumat, 18 Maret 2005, sekitar 100 orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan ritual agama di sebuah gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John TheDivine, di kota New York, Amerika serikat. Bertindak selaku imam sekaligus khatib shalat Jum’at itu adalah Dr. Amina Wadud, seorang profesor dari Virginia Commonweath University, Amerika. Motif utama pelaksanaan ibadah sesat ini adalah upaya mempropaganda ide kesetaraan gender
Munculnya bid’ah yang menyesatkan yang diperankan oleh Aminah Wadud, menuntut supaya: 1) wanita dibolehkan mengumandangkan adzan shalat. 2) wanita boleh menjadi khatib dan imam pada shalat Juma’at. 3) Wanita boleh menjadi imam shalat bagi perempuan dan laki-laki. 4) Berdirinya kaum laki-laki dan perempuan di belakang imam dalam keadaan bersandingan dan bercampur baur. 5) Shalatnya kaum wanita dengan membuka kepalanya 6) Jika wanita masuk masjid tidak harus dari pintu belakang atau samping, tapi boleh dari pintu mana saja yang dibolehkan bagi lelaki.
Firman Allah Swt:
“Ada manusia yang menjadikan cerita fiktif untuk menyesatkan manusia dari Islam. Orang itu menjadikan Islam sebagai bahan ejekan. Orang-orang yang melakukan perbuatan semacam itu mendapatkan adzab yang hina di akhirat.” (Qs. Luqman, 31: 6)
Keempat, menolak agama dalam urusan negara/publik. Kaum liberal sesungguhnya kaum anti agama. Sekalipun mereka mengaku beragama Islam, tapi tidak mau terikat dengan syari’at Islam dalam segala urusannya.
Seorang pegiat liberal, Deny JA mengatakan: “Ajaran agama, bila diwujudkan dalam hukum positif akan menjadi pemaksaan, karena konsep hukum bersifat memaksa. Siapa pun yang tidak melaksanakan hukum, dia dihukum. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam akan cenderung bertentangan dengan hak azasi manusia dan hak-hak sipil. Dalam kasus jilbab, misalnya bukan melarang atau memaksa orang memakai jilbab, tapi lebih baik, jilbab itu dipakai atas dasar keyakinan pilihan pribadi. Pilihan bebas yang tidak dipaksakan oleh hukum positif (formal), tapi didasarkan pada kesadaran. Demikian pula nilai-nilai normatif lainnya dari agama, tidak bisa dilegal-formalkan. Karena itu, Perda-perda syariat berpotensi besar melanggar HAM, terutama hak-hak sipil.”
Strategi liberalisasi untuk mengacak-acak negeri kaum muslim dilakukan melalui berbagai cara. Di Indonesia, strategi dilancarkan melalui pengajuan RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang justru semakin menghinakan kaum perempuan.
Sejumlah Pasal-Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender, sama sekali tak ada nilai agama. Jika dilihat dari kata-kata, maupun kalimat per kalimat, semua berasaskan kebebasan. Misalnya, Bab III ps 12 tentang Hak dan Kewajiban dalam rumah tangga, setiap orang berhak:
-
memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas.
-
memiliki relasi yang setara antara suami dan istri.
-
sebagai orangtua, memiliki peran setara dalam urusan kaitannya dengan anak.
-
menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah anak dan jarak kelahiran.
-
atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak; dan
-
atas pemilikan, perolehan, pengelolaan, pemanfaatan, pemindahtanganan beserta pengadministrasian harta benda.
RUU ini mendorong mereka yang ingin kawin campur bebas dilakukan, tanpa landasan agama, termasuk perkawinan sejenis (homoseks) bebas dilakukan. Karena pasangan sesama jenis juga bisa mengaku sebagai suami atau istri.
Selain itu, tak ada lagi pembagian tugas dan tanggungjawab dari seorang suami dan seorang istri. Semua dilakukan dengan bebas tanpa nilai-nilai yang sebetulnya sudah diatur dalam agama. Sebab itu, menurut RUU ini seorang istri berhak bekerja dan boleh saja tidak menyusui. Sementara suami boleh saja berlaku sebagai istri untuk menyusui anak mereka, karena sudah banyak susu instan.
“Wahai Muhammad, katakanlah:”Apakah Kami belum menjelaskan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi usahanya?” Orang-orang yang paling rugi usahanya adalah orang-orang yang selama hidup di dunia melakukan perbuatan sesat, tetapi mereka mengira bahwa yang dia lakukan itu perbuatan benar. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Tuhan mereka, dan tidak meyakini hari pertemuan mereka dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sia-sialah semua amal mereka, dan pada hari kiamat kelak Kami tidak akan menyelamatkan mereka dari adzab.” (Qs. Al-Kahfi, 18:103-105).
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama, tapi juga bebas untuk tidak beragama, dan bebas dari segala ikatan agama.
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan yang baru langsung membuat ‘gebrakan.’ Yang berbahaya. Setelah resmi dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam jumpa pers yang digelar di Ruang Leimena kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (14/6/2012), Menkes mengusulkan agar remaja dipermudah aksesnya untuk mendapat kondom.
“Kita berharap bisa meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja. Dalam Undang-Undang, yang belum menikah tidak boleh diberi kontrasepsi. Namun kami menganlisis data dan itu ternyata berbahaya jika tidak melihat kenyataan. Sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya menurut data dari BKKBN,” kata Menkes.
Galau terhadap kian maraknya seks bebas, bukannya melarang penyebabnya, malah memfasilitasi dengan kondom dengan alasan menghindari penyakit kelamin. Inilah yang disebut memberantas penyakit maksiat dengan cara maksiat, yang pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Penutup
Segala kerusakan yang terjadi di negeri ini, disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
-
Sistem pemerintahan yang rusak dan pemimpin yang jahat:
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat sesat di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat rusak di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Isra’, 17: 16).
Karena itu harus ada keberanian kaum Muslim untuk berobah (sunnatut taghyir), siap diuji/berkorban (sunnatul ibtila’), siap membela Islam (sunnatut tadafu’) Baca Qs. Ali Imran, 3: 195.
-
Kesalahan ijtihad politik para politisi Muslim. Mereka ingin melaksanakan ajaran Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara di negara yang menolak syari’at Islam memang dilematis. Inilah resiko menjadi warga di negara yang tidak jelas kelamin ideologisnya. Seperti pernyataan mantan Presiden RI Soeharto, bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler.” Artinya, negara tanpa jenis kelamin alias negara bukan-bukan; maka gampang diseret ke komunis, liberalis, atau paganis.
-
Mayoritas umat Islam memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Ternyata Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag RI terdapat banyak ayat yang salah terjemah, sehingga banyak orang salah paham terhadap Islam karena membaca terjemah Al-Qur’an yang salah. Dan umat Islam menjadi korbannya.
Wallahu a’lam bish shawab!
Oleh: Ust. Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
[*] Makalah ini disampaikan pada acara Tazwidu Du’atil Islam santri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, 22 Juni 2012.
(Arrahmah.com) – HARI-HARI REFORMASI sekarang ini, rakyat Indonesia sedang menyaksikan kemungkar-an kolektif yang diperagakan secara sistematis, melalui budaya, seni, politik dan hukum. Seolah-olah kita kembali menyaksikan episode sejarah yang menayangkan peristiwa jahiliyah pada permulaan dakwah Islam. Ketika itu, kehidupan manusia mengalami zaman kegelapan, dimana prilaku manusia menebarkan ketakutan, kedzaliman, kebejatan moral dan kebiadaban. Hidup seakan tanpa harapan.
Tragisnya, berbagai bentuk kemungkaran itu, seperti korupsi, dekadensi moral, budaya mungkarat, penistaan agama, aliran sesat, moral bejat dll, atas nama demokrasi dan hak asasi manusia, dianggap sebagai hal yang wajar. Sikap demikian itu, digambarkan dalam Al-Qur’an:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika setan menampakkan perbuatan sesat orang-orang kafir sebagai hal yang menyenangkan bagi mereka…” (Qs. Al-Anfal, 8:48).
Kemungkaran dianggap sebagai kebebasan berekspresi, dan penolakan terhadap syari’ah serta penistaan agama dianggap kebebasan berpendapat. Sehingga eksistensi kaum mukmin yang hendak memberantas kemungkaran, malah dituding sebagai orang yang memperalat agama untuk tujuan tertentu, bahkan dinilai sebagai orang-orang yang tertipu oleh agamanya.
Begitulah Al-Qur’an al-Karim menginformasikan kepada kita, dalam firman-Nya:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya penuh kedengkian kepada kalian berkata: “Orang-orang mukmin itu tertipu oleh agamanya”. Sungguh siapa saja yang selalu bertawakal kepada Allah, Allah tidak akan jadikan dia hina. Allah Mahaperkasa untuk membantu kaum mukmin, dan Mahabijaksana dalam memberi kemenangan kepada kaum mukmin.” (Qs. Al-Anfal, 8: 49)
Visualisasi setan ini memunculkan manusia setan yang menganggap penolakan terhadap syari’at Islam di lembaga negara sebagai hal yang benar, demokratis dan modern. Bahkan ada manusia munafiq, yang kemudian diidentikkan dengan kaum liberal, yang menggemari lesbian, gay, melakukan tindak korupsi, narkoba, tanpa melepas baju Islam. Mereka merusak citra Islam dan mendistorsi ajarannya, tapi tidak merasa bersalah.
Gelombang liberalisme dan Islam, kini sedang bertarung dalam ranah ideologi, politik, ekonomi dan prilaku sosial kemasyarakatan. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam sedang dihadapkan pada realitas yang memprihatinkan, memosisikan umat Islam sebagai obyek penderita melalui opini global dan stigma radikal. Bahkan identitas Islami, seperti jenggot, jilbab, celana komprang, jidad berbekas, dianggap sebagai ciri radikalisme. Istilah syari’at Islam, jihad fi sabilillah, juga dilabeli dengan terminologi terorisme. Umat Islam digiring ke arah kubangan demokrasi dan setanisasi liberalisme.
Akibatnya, tidak sedikit umat Islam yang terpenjara oleh stigma global itu. Sehingga muncullah fakta yang memprihatinkan. Ada orang Islam yang menista ajaran Islam. Mengaku beragama Islam, tapi meragukan kemampuan Islam menyelesaikan problem kehidupannya? Atas nama liberal (kebebasan) ajaran Islam dianggap diskriminatif terhadap perempuan, dan dianggap penyebab KDRT akibat tidak adanya kesetaraan gender. Bahkan sejumlah ayat Qur’an dipetakan menjadi ayat-ayat liberal, moderat dan radikal.
Atau seperti fakta yang amat memprihatinkan, tentang data surve pilkada cagub dan cawagub DKI belum lama berselang. Menurut data surve, jumlah umat Islam di DKI 88,5%. Dari jumlah tersebut, yang tahu bahwa Islam mengharamkan umat Islam mengangkat pemimpin dari golongan kafir hanya 44%, yang setuju dengan pemimpin kafir 50%, dan yang tidak tahu 6%. Apabila diperluas lagi, di seluruh Indonesia berapa persenkah umat Islam yang mengerti kewajiban melaksanakan syariat Islam secara kaffa? Dan berapa persen yang tidak mengerti atau tidak peduli?
Kenyataan ini menunjukkan kegagalan dakwah serta amar makruf nahyu mungkar. Lalu dakwah seperti apa yang disampaikan oleh para da’i, ulama, kyai, sehingga pemahaman umat Islam begitu lemah dan mengambang tentang Islam, bahkan banyak diantara umat Islam yang menganggap mengikut sertakan Islam dalam perbaikan Indonesia sebagai perbuatan SARA?
Definis Liberalisme
Liberalisme atau liberal adalah sebuah paham yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan hak, yang bermimpi akan lahirnya suatu masyarakat yang bebas, baik dalam cara berpikir ataupun bertindak bagi setiap individu. Oleh karena itu, liberalisme menolak adanya pembatasan dalam segala hal, terutama oleh negara dan agama.
Di Barat yang mula-mula muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, namun dari situ lahir dan tumbuh liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism.
Secara ideologis, liberalisme adalah suatu paham yang membebaskan diri dari ajaran agama. Mereka mengakui adanya tuhan tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Atau beragama tapi tidak mau tunduk pada ajaran Nabi. Bertuhan tanpa agama dan beragama tanpa syari’at.
Sedangkan secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang memberikan superioritas individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).
Dalam konteks sosial, liberalisme diartikan sebagai etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C. A. J. Distributive Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).
Ciri Pemikiran Liberal
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh subur di bawah naungan sistem demokrasi. Karena keduanya sama-sama mendasarkan pada kebebasan mayoritas, kebebasan berpikir, kesetaraan gender, emansipasi.
Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat adalah sbb:
Pertama, percaya pada Tuhan, tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Mereka tidak mau terikat oleh apapun selain untuk kepentingan hawa nafsunya. Dalam liberalisme, konsep Tuhan (teologi) dan doktrin agama, merupakan persoalan yang dianggap mengganggu kebebasan. Karena itu, sebagaimana kaum atheis, kaum liberal juga mengejek dengan mengatakan ‘tuhan telah mati’. Manusia yang tidak terikat ajaran agama (Islam) bagai binatang liar, susah dikendalikan, sesat dan menyesatkan.
“Wahai Muhammad, apa pendapatmu tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? Allah menyesatkan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah memateri pendengaran mereka, hati mereka, dan memasang tabir di depan penglihatan mereka. Karena itu, siapakah yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah? Mengapa orang-orang kafir itu tidak mau berpikir?” (Qs. Al-Jatsiyah, 45: 23).
Kedua, memisahkan antara ajaran agama dan moral. Mereka berkesimpulan bahwa orang yang tidak beragama sekalipun dapat menjadi moralis.
Oleh karena itu, kaum liberal seperti Irshad Manji yang menulis buku berjudul Allah, Cinta dan Kebebasan, dianggap seorang moralis karena sikapnya pada sesama manusia bersifat humanis, sekalipun pemikiran dan prilakunya menghina Allah dan menista Nabi Muhammad Saw. Dalam bukunya, ia mempropagandakan bahwa di dalam AlQuran terdapat ‘ayat-ayat setan’ yang menyerukan penyembahan terhadap berhala, dan kemudian dihapus oleh Muhammad, sehingga Al-Qur’an tidak steril dari kesalahan.
Gagasan liberalisme berangkat dari olah akal sesat dan bejat. Agenda liberalisme dilakukan melalui gaya hidup yang hedonistik. Gaya hidup hedonis yang mengusung kebebasan berperilaku seperti free sex sebagai propagandis zionisme yang hendak merusak masyarakat.
Irshad Manji, tokoh liberalis penyeru homoseksual dan lesbian terang-terangan memperjuangkan kaum gay dan menghujat Islam. Propaganda kaum liberal semakin gencar di negeri-negeri kaum muslim, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, mereka yang berpaham dan berprilaku bebas seperti itu haram jenazahnya dishalatkan, sebagaimana firman Allah:
“Wahai Muhammad, janganlah kamu menshalati jenazah seorang pun dari kaum munafik untuk selama-lamanya. Janganlah kamu berdiri di kubur orang munafik untuk mendo’akannya. Mereka itu kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafiran.” (Qs. At-Taubah, 9: 84)
Ketiga, ingkar sunnah, tidak percaya pada ajaran Nabi (sunnah). Segala hal harus dikritisi, bukan menerima secara dogmatis.”Ketika berpandangan bahwa wujud Tuhan tidak dapat dibuktikan, maka keharusan adanya nabi untuk memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia tidak dapat diterima,” kata para dedengkot liberal.
Misalnya, kasus shalat campur ala Amina Wadud. Pada Jumat, 18 Maret 2005, sekitar 100 orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan ritual agama di sebuah gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John TheDivine, di kota New York, Amerika serikat. Bertindak selaku imam sekaligus khatib shalat Jum’at itu adalah Dr. Amina Wadud, seorang profesor dari Virginia Commonweath University, Amerika. Motif utama pelaksanaan ibadah sesat ini adalah upaya mempropaganda ide kesetaraan gender
Munculnya bid’ah yang menyesatkan yang diperankan oleh Aminah Wadud, menuntut supaya: 1) wanita dibolehkan mengumandangkan adzan shalat. 2) wanita boleh menjadi khatib dan imam pada shalat Juma’at. 3) Wanita boleh menjadi imam shalat bagi perempuan dan laki-laki. 4) Berdirinya kaum laki-laki dan perempuan di belakang imam dalam keadaan bersandingan dan bercampur baur. 5) Shalatnya kaum wanita dengan membuka kepalanya 6) Jika wanita masuk masjid tidak harus dari pintu belakang atau samping, tapi boleh dari pintu mana saja yang dibolehkan bagi lelaki.
Firman Allah Swt:
“Ada manusia yang menjadikan cerita fiktif untuk menyesatkan manusia dari Islam. Orang itu menjadikan Islam sebagai bahan ejekan. Orang-orang yang melakukan perbuatan semacam itu mendapatkan adzab yang hina di akhirat.” (Qs. Luqman, 31: 6)
Keempat, menolak agama dalam urusan negara/publik. Kaum liberal sesungguhnya kaum anti agama. Sekalipun mereka mengaku beragama Islam, tapi tidak mau terikat dengan syari’at Islam dalam segala urusannya.
Seorang pegiat liberal, Deny JA mengatakan: “Ajaran agama, bila diwujudkan dalam hukum positif akan menjadi pemaksaan, karena konsep hukum bersifat memaksa. Siapa pun yang tidak melaksanakan hukum, dia dihukum. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam akan cenderung bertentangan dengan hak azasi manusia dan hak-hak sipil. Dalam kasus jilbab, misalnya bukan melarang atau memaksa orang memakai jilbab, tapi lebih baik, jilbab itu dipakai atas dasar keyakinan pilihan pribadi. Pilihan bebas yang tidak dipaksakan oleh hukum positif (formal), tapi didasarkan pada kesadaran. Demikian pula nilai-nilai normatif lainnya dari agama, tidak bisa dilegal-formalkan. Karena itu, Perda-perda syariat berpotensi besar melanggar HAM, terutama hak-hak sipil.”
Strategi liberalisasi untuk mengacak-acak negeri kaum muslim dilakukan melalui berbagai cara. Di Indonesia, strategi dilancarkan melalui pengajuan RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang justru semakin menghinakan kaum perempuan.
Sejumlah Pasal-Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender, sama sekali tak ada nilai agama. Jika dilihat dari kata-kata, maupun kalimat per kalimat, semua berasaskan kebebasan. Misalnya, Bab III ps 12 tentang Hak dan Kewajiban dalam rumah tangga, setiap orang berhak:
-
memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas.
-
memiliki relasi yang setara antara suami dan istri.
-
sebagai orangtua, memiliki peran setara dalam urusan kaitannya dengan anak.
-
menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah anak dan jarak kelahiran.
-
atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak; dan
-
atas pemilikan, perolehan, pengelolaan, pemanfaatan, pemindahtanganan beserta pengadministrasian harta benda.
RUU ini mendorong mereka yang ingin kawin campur bebas dilakukan, tanpa landasan agama, termasuk perkawinan sejenis (homoseks) bebas dilakukan. Karena pasangan sesama jenis juga bisa mengaku sebagai suami atau istri.
Selain itu, tak ada lagi pembagian tugas dan tanggungjawab dari seorang suami dan seorang istri. Semua dilakukan dengan bebas tanpa nilai-nilai yang sebetulnya sudah diatur dalam agama. Sebab itu, menurut RUU ini seorang istri berhak bekerja dan boleh saja tidak menyusui. Sementara suami boleh saja berlaku sebagai istri untuk menyusui anak mereka, karena sudah banyak susu instan.
“Wahai Muhammad, katakanlah:”Apakah Kami belum menjelaskan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi usahanya?” Orang-orang yang paling rugi usahanya adalah orang-orang yang selama hidup di dunia melakukan perbuatan sesat, tetapi mereka mengira bahwa yang dia lakukan itu perbuatan benar. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Tuhan mereka, dan tidak meyakini hari pertemuan mereka dengan Tuhannya. Oleh karena itu, sia-sialah semua amal mereka, dan pada hari kiamat kelak Kami tidak akan menyelamatkan mereka dari adzab.” (Qs. Al-Kahfi, 18:103-105).
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama, tapi juga bebas untuk tidak beragama, dan bebas dari segala ikatan agama.
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan yang baru langsung membuat ‘gebrakan.’ Yang berbahaya. Setelah resmi dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam jumpa pers yang digelar di Ruang Leimena kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (14/6/2012), Menkes mengusulkan agar remaja dipermudah aksesnya untuk mendapat kondom.
“Kita berharap bisa meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja. Dalam Undang-Undang, yang belum menikah tidak boleh diberi kontrasepsi. Namun kami menganlisis data dan itu ternyata berbahaya jika tidak melihat kenyataan. Sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya menurut data dari BKKBN,” kata Menkes.
Galau terhadap kian maraknya seks bebas, bukannya melarang penyebabnya, malah memfasilitasi dengan kondom dengan alasan menghindari penyakit kelamin. Inilah yang disebut memberantas penyakit maksiat dengan cara maksiat, yang pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Penutup
Segala kerusakan yang terjadi di negeri ini, disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
-
Sistem pemerintahan yang rusak dan pemimpin yang jahat:
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat sesat di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat rusak di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Isra’, 17: 16).
Karena itu harus ada keberanian kaum Muslim untuk berobah (sunnatut taghyir), siap diuji/berkorban (sunnatul ibtila’), siap membela Islam (sunnatut tadafu’) Baca Qs. Ali Imran, 3: 195.
-
Kesalahan ijtihad politik para politisi Muslim. Mereka ingin melaksanakan ajaran Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara di negara yang menolak syari’at Islam memang dilematis. Inilah resiko menjadi warga di negara yang tidak jelas kelamin ideologisnya. Seperti pernyataan mantan Presiden RI Soeharto, bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler.” Artinya, negara tanpa jenis kelamin alias negara bukan-bukan; maka gampang diseret ke komunis, liberalis, atau paganis.
-
Mayoritas umat Islam memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Ternyata Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag RI terdapat banyak ayat yang salah terjemah, sehingga banyak orang salah paham terhadap Islam karena membaca terjemah Al-Qur’an yang salah. Dan umat Islam menjadi korbannya.
Wallahu a’lam bish shawab!
Oleh: Ust. Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
[*] Makalah ini disampaikan pada acara Tazwidu Du’atil Islam santri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, 22 Juni 2012.