Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Kepenulisan AMK
Proses liberalisasi kesehatan disinyalir mengintai negeri ini. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah dikebut prosesnya dalam waktu belakangan ini. Satu poin dari sinyalemen tersebut adalah ke depan akan ada kemudahan bagi dokter asing dan diaspora untuk berpraktik di Indonesia.
Sebagaimana dilansir oleh Katadata.co.id (19/4/2023) bahwa pemerintah akan memberi fasilitas kemudahan bagi dokter asing dan diaspora untuk beroperasi melalui Draf Revisi Undang-Undang No. 36-2009 tentang Kesehatan. Kemudahan tersebut berupa penerobosan beberapa syarat pengaturan tenaga medis dan kesehatan yang telah tertuang dalam Pasal 233 dan 234. Di antaranya, pertama adalah evaluasi kompetensi yang berisikan kelengkapan administrasi dan nilai kemampuan praktik. Kedua pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP) dokter. Ketiga kewajiban dokter untuk mampu beradaptasi di pelayanan kesehatan dalam negeri. Semuanya tak diperlukan lagi bagi siapapun tenaga medis dan kesehatan asing yang bergelar spesialis subspesialis, dan telah berpraktik 5 tahun saja. Mereka bisa langsung mengambil alih lahan pekerjaan dokter dalam negeri.
Pemberian karpet merah bagi dokter asing pun tampak dari aturan ketika mereka bersedia memberi pelatihan alih teknologi dan ilmu pengetahuan. Kemudahan layaknya jalan tol akan diterima, berupa mendapat izin praktik selama 3 tahun bahkan dapat diperpanjang 1 tahun. Ditambah fasilitas berupa terbebas dari kewajiban pemilikan STR. Terlebih apabila yang bersangkutan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
Beragam kemudahan tersebut selama ini tidaklah didapat oleh dokter dan tenaga kesehatan dalam negeri. Mereka ketika akan mendapat izin praktik wajib melewati beragam syarat yang panjang. Maka tak mengherankan jika RUU tersebut mendapat penolakan dari beragam pihak, salah satunya dari perkumpulan profesi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) (Kompas, 11/4/2023).
Sinyalemen Liberalisasi dan Kapitalisasi?
Diajukannya RUU Kesehatan ini konon salah satu tujuannya akan memangkas rumitnya jalur birokrasi dan administrasi proses pendidikan calon dokter. Ketika ini sudah dilakukan maka untuk menjadi seorang dokter dan mendapat izin praktik itu akan lebih dipermudah dengan biaya yang minim. Dengan begitu maka jumlah dokter yang dapat beroperasi pun menjadi banyak. Selanjutnya hal ini akan memperpendek antrean masyarakat yang hendak mengakses layanan kesehatan.
Terlebih ketika dokter asing telah banyak berdatangan ke negeri ini. Maka rasio dokter dan jumlah rakyat yang selama ini menjadi satu problem dapat diurai.
Sekilas narasi ini sangat baik, tapi jika dirunut betapa persoalan di bidang kesehatan itu jauh lebih banyak dan sangatlah rumit. Persoalannya bersifat sistemik sehingga butuh diurai secara mengakar dan sistemik pula. Dan pemberian kemudahan bagi dokter dan nakes asing beroperasi di sini sungguh bukan solusi sistemik dan mengakar.
Pemberian kemudahan bagi dokter dan nakes asing itu justru dinilai menjadi sinyalemen liberalisasi di bidang kesehatan. Bagaimana tidak, dengan adanya payung hukum tersebut berpotensi untuk semakin bebaslah arus masuk dokter asing. Pada gilirannya semakin ketatlah persaingan mendapatkan lahan kerja bagi rakyat dengan profesi di bidang kesehatan. Bertambahnya jumlah pengangguran di kalangan rakyat menjadi dampak yang menunggu di hadapan. Ini yang pertama.
Kedua bahwa pemerintah melalui Kemenkes beralasan RUU yang memfasilitasi impor dokter dilakukan untuk memudahkan rakyat negeri ini agar tidak perlu berobat ke luar negeri. Mafhum bersama bahwa tak sedikit dari masyarakat kalangan atas jika sakit lebih memilih untuk mendapat layanan kesehatan di negara luar. Hal ini berkaitan dengan kelengkapan fasilitas medis hingga trust terhadap pelayanan kesehatan di luar lebih mereka pilih.
Hal itu tentu ujungnya uang-uang juga. Negara sesungguhnya lebih menyayangkan ketika nominal devisa negara terbang ke luar negeri.
Di sisi lain bahwa hal ini justru kian mengonfirmasi betapa negara telah gagal menciptakan proses pendidikan dalam mencetak dokter-dokter dan nakes berkualitas di dalam negeri. Padahal negeri ini tak kehabisan orang-orang cerdas, bertalenta dan mumpuni, mereka banyak jumlahnya. Namun apalah daya, dukungan negara menciptakan sistem pendidikan berkualitas dan bisa diakses oleh semua lapisan rakyat sangatlah minim. Maka potensi SDM luar biasa pun tak tergali dengan baik.
Ketiga bahwa kapitalisasi kesehatan pun kian sempurna mendarat di Indonesia jika RUU tersebut disahkan. Keran investasi di bidang kesehatan adalah nafas dari kebijakan yang ada di bawah payung Omnibus Law ini. Maka besar kemungkinan setelahnya, pembukaan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) swasta hasil investasi para kapitalis baik lokal maupun asing bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Terlebih, rasanya mustahil jika para pelayan kesehatan yang telah datang jauh-jauh dari negeri seberang rela dipekerjakan jika itung-itungan pendapatan materi tak masuk di rasio mereka. Inilah salah satu poin yang juga menjadi kekhawatiran IDI. Kuat dugaan dokter-dokter impor itu akan menikmati fasilitas keleluasaan menjalankan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan layanan berbasis kebutuhan ala pasien umum, bukannya berbasis paket ala pasien BPJS yang banyak karut marutnya.
Jadi rakyat mana yang akan dimudahkan dengan didatangkannya dokter-dokter asing jika bukan mereka yang ber-cuan tebal? Sementara rakyat dengan cuan kempis itu jauh lebih banyak, bagaimana dengan nasib mereka?
Problem Sistemik tak Tersentuh
Alih-alih mengurai persoalan, yang terjadi justru berpotensi menambah persoalan baru sementara problem sistemik tak tersentuh. Problem sistemiknya berupa diterapkannya sistem Kapitalisme sekuler liberal. Dalam sistem ini pendidikan dan pelayanan masyarakat itu basisnya adalah komersialisasi. Tak mengherankan ketika untuk menempuh pendidikan menjadi seorang dokter dibutuhkan uang yang tak sedikit, sehingga kecil kemungkinan bisa diraih oleh rakyat kelas bawah.
Negara dalam hal ini sekadar bertindak sebagai pengatur dan pembuat aturan saja. Sementara penyedia, pengurus hingga penanggung biaya bagi proses pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar dengan rakyat sebagai user/pembeli. Prinsipnya ibarat penjual dan pembeli.
Paradigma dalam sistem Kapitalisme pun menjadikan jasa penyedia dan pelayananan kesehatan adalah bagian dari komersialisasi. Maka tak mengherankan itung-itungan untung rugi pun senantiasa menjadi rujukan berpikir bagi pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan, tak terkecuali RUU Kesehatan.
Padahal yang dibutuhkan oleh rakyat itu adalah pengurusan bukan komersialisasi, termasuk urusan kesehatan. Dan hal ini tak didapatkan dalam sistem Kapitalisme. Begitulah tabiat dari sistem yang menjauhkan dari arahan Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sekularisme sebagai asas dari sistem ini menjadi ruh yang mengarahkan bahwa urusan kehidupan cukuplah akal kecerdasan, logika, nalar manusia dan itung-itungan untung rugi dan kepentinganah yang menjadi dasar berpikir.
Kesehatan adalah Tanggung Jawab Negara
Berbeda dengan sistem yang menyerahkan segala sesuatu pada arah pandang yang berasal dari Sang Pencipta, yakni Allah Swt.. Berupa sistem Islam yang memiliki asas, arah pandang hingga aturan menyeluruh dalam menjawab setiap persoalan di tengah-tengah kehidupan, tak terkecuali urusan kesehatan.
Islam memandang bahwa kesehatan adalah bagian dari urusan rakyat yang wajib menjadi area pertanggungjawaban negara. Ya, karena negaralah yang memiliki kekuasaan termasuk kekuatan, hingga sumber daya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan semua urusan rakyatnya.
Dalam hal ini maka Islam mewasiatkan bahwa penyedia dan penyelenggara atas semua urusan kesehatan rakyat adalah tanggung jawab penguasa. Mulai dari sistem pendidikan untuk mencetak dokter, nakes, dan peneliti kesehatan yang unggul dan terampil. Kemudian sarana prasarana untuk fasyankes hingga obat-obatan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kesehatan. Kemudian urusan penelitian yang akan menunjang berkembangnya ilmu dan teknologi kesehatan pun menjadi ranah tanggung jawab negara.
Negara pun akan memberi perlindungan penuh pada semua rakyatnya, termasuk para dokter, nakes, dan paramedis lainnya. Penguasa akan menomorsatukan warga negara sendiri untuk mendedikasikan ilmu, keterampilan dan kemampuan mereka sebelum diberikan pada warga asing.
Pembiayaan untuk menopang semuanya ditanggung penuh oleh negara berbekal sistem ekonomi basis syariat Islam. Dananya tidak akan didapat dari proses pinjaman luar negeri atau investasi swasta, melainkan dari sumber kekayaan milik rakyat yang jumlahnya melimpah. Sumber daya alam seperti bahan tambang salah satunya. Dengan ini tak akan didapati problem negara kekurangan dana untuk menyediakan hingga menyelenggarakan fasilitas kesehatan bagi seluruh rakyat dengan kualitas terbaik yang gratis.
Para penguasa sangat sadar betapa ketika mereka dipilih oleh rakyat untuk memimpin itu artinya tangan, kaki, pikiran dan perhatian mereka wajib dicurahkan seluruhnya untuk mengurus urusan rakyatnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Dawud melalui jalur Abdullah bin Umar.
Wallahua’lam bishawab.