BEIRUT (Arrahmah.id) – Libanon mulai lakukan deportasi gelombang pertama pengungsi Suriah pada Rabu (26/10/2022) sebagai bagian dari “skema repatriasi” baru yang menurut kelompok hak asasi menempatkan pengungsi pada risiko penahanan, penyiksaan, atau bahkan tindakan lebih buruk lainnya di Suriah.
Puluhan minivan meninggalkan kota Arsal di Libanon menuju perbatasan Suriah pada dini hari Rabu (26/10), dipenuhi ratusan pengungsi dan barang-barang mereka, lansir AFP.
Beberapa kelompok hak asasi manusia mengecam rencana deportasi, menunjukkan bahwa rezim Bashar al-Assad sebelumnya telah menahan, menyiksa dan mengeksekusi orang-orang yang menentang aturannya.
Kelompok hak asasi Prancis-Lebanon Wassoul mengatakan hal ini menempatkan pengungsi Suriah dan keluarga mereka dalam bahaya penahanan dan penyiksaan secara sewenang-wenang dan dapat melanggar komitmen Libanon terhadap Konvensi PBB Menentang Penyiksaan
William Christou, koresponden The New Arab di Libanon, mengatakan bahwa keselamatan para pengungsi di Suriah sama sekali tidak dijamin.
“Pemerintah Libanon telah mengatakan bahwa Suriah adalah negara yang aman untuk kembali, dan mengatakan bahwa mereka memeriksa Damaskus untuk memastikan bahwa mereka yang kembali tidak diinginkan oleh pasukan keamanan Suriah,” kata Christou.
“Kelompok hak asasi manusia mengatakan dengan tegas bahwa Suriah tidak aman untuk pemulangan pengungsi. Human Rights Watch dan pemantau hak lainnya secara konsisten mendokumentasikan pelanggaran terhadap warga Suriah yang kembali oleh rezim – termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan bahkan kematian.”
Christou mengatakan dia telah mendengar cerita dari tetangga dan teman bahwa orang-orang yang kembali ke Suriah telah menghilang tanpa jejak meskipun tidak ada indikasi bahwa mereka dicari oleh pasukan keamanan rezim.
Sekitar dua juta pengungsi Suriah tinggal di Libanon. Badan keamanan Libanon mengatakan 400.000 telah dipulangkan dalam skema serupa sejak 2017, dan memperkirakan sekitar 750 pengungsi akan dipulangkan ke Suriah pada Rabu (26/10).
Pemerintah Libanon bersikeras bahwa skema itu bersifat sukarela dan hanya mereka yang memilih untuk kembali yang akan dikirim ke Suriah meskipun beberapa kelompok hak asasi berpendapat bahwa ini tidak benar.
“Pemerintah Libanon bersikeras bahwa mereka hanya melakukan ‘pengembalian sukarela’ para pengungsi tetapi Amnesty International dan yang lainnya keberatan dengan hal ini, dengan mengatakan tidak ada pengembalian yang benar-benar sukarela di Libanon,” kata Christou.
“Mereka menunjuk pada sistem kebijakan rasis yang sengaja membatasi dan struktural yang dimaksudkan untuk bertindak sebagai bentuk pemaksaan untuk mendorong warga Suriah kembali ke Suriah.”
Christou mengatakan pengungsi Suriah di Libanon telah disalahkan oleh para politisi atas krisis ekonomi yang sedang berlangsung di negara itu.
“Sudah lama ada kecenderungan di dalam lembaga politik Libanon untuk mengkambinghitamkan pengungsi Suriah atas masalah di negara itu,” kata Christou. “Sebagian dari elit negara memandang para pengungsi sebagai beban pada sumber daya ekonomi dan keuangan negara. Ini bukan pertama kalinya pemerintah mengajukan rencana pemulangan pengungsi.”
Sebuah survei PBB baru-baru ini menemukan bahwa 77 persen pengungsi Suriah di Mesir, Libanon, Yordania, dan Irak lebih suka tinggal di negara tempat mereka berada saat ini, dengan 16 persen mengatakan mereka ingin pergi ke negara lain dan 7 persen ragu-ragu.
Hanya 29 persen pengungsi yang mengatakan mereka ingin kembali ke Suriah dalam lima tahun ke depan.
Suriah telah dianggap tidak aman untuk kembali oleh kelompok hak asasi manusia dan PBB, karena pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut oleh rezim Assad dan aktor lain dalam konflik Suriah.
Konflik di negara itu sedang berlangsung dan 80 persen warga Suriah hidup dalam kemiskinan, dengan penyakit seperti kolera muncul dalam beberapa tahun terakhir. (zarahamala/arrahmah.id)