DHAKA (Arrahmah.com) – Lembaga hak asasi manusia yang berbasis di Eropa pada Sabtu (5/12/2020) mengungkapkan kekhawatiran terkait program relokasi lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil.
“Kami mendesak masyarakat internasional, termasuk pemerintahan Amerika Serikat yang baru terpilih, negara-negara Asia Selatan, kelompok masyarakat sipil, dan organisasi internasional untuk membantu dan membujuk pemerintah Bangladesh untuk segera menghentikan prosedur ini,” kata Dewan Rohingya Eropa dalam sebuah pernyataan.
Mengutip pemukiman darurat yang tak layak untuk menampung lebih dari 1 juta orang Rohingya tanpa kewarganegaraan di distrik Cox’s Bazar di bagian selatan Bangladesh, otoritas negara itu telah mulai memindahkan 100.000 pengungsi Rohingya ke Bhashan Char, sebuah pulau jauh yang dilaporkan rawan topan dan bencana alam lainnya.
Meskipun ada protes keras dari komunitas internasional dan pembela hak, Bangladesh pada Jumat (4/12) mulai memindahkan gelombang pertama 1.642 pengungsi Rohingya ke pulau yang muncul hanya 20 tahun lalu di Teluk Benggala dan tidak pernah dihuni.
Sebanyak 3.500 lainnya akan dikirim ke pulau itu minggu ini dan relokasi diharapkan selesai dalam seminggu, kantor berita Bangladesh Sangbad Sangstha melaporkan, mengutip sumber angkatan laut.
Namun, Dewan Rohingya Eropa mengatakan, “Setiap tahun, Bhashan Char tetap terendam air hujan selama beberapa bulan dan Rohingya yang rentan akan semakin terpinggirkan jika mereka dipaksa pindah ke sini.”
Mengutip badai sebagai “kejadian biasa” di wilayah tersebut, ia menambahkan, “Kami sangat menentang rencana relokasi ini […] dan jika pengungsi Rohingya dipindahkan ke sini, maka mereka akan menghadapi bencana alam yang tak terbayangkan.”
Badan HAM tersebut juga menyarankan Bangladesh untuk lebih memperhatikan pemulangan Rohingya secara damai dan berkelanjutan ke tanah kelahiran asli mereka di Negara Bagian Rakhine Myanmar.
“Bangladesh berusaha untuk memulai repatriasi pengungsi [Rohingya] ke Myanmar di bawah kerangka kerja bilateral November lalu, tetapi tidak ada pengungsi yang mau kembali karena kurangnya kondisi aman dan berlanjutnya genosida Rohingya di Myanmar,” katanya.
Menurut Amnesti Internasonal, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017, mendorong jumlah pengungsi teraniaya di Bangladesh melebihi 1,2 juta jiwa.
Sementara itu, puluhan pembela dan platform hak asasi manusia global lainnya termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Human Rights Watch, Amnesti Internasional, dan Fortify Rights juga telah mendesak Bangladesh untuk menghentikan rencana relokasi sampai studi kelayakan komprehensif dilakukan atas kelayakan hunian pulau itu.
Namun, Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam siaran persnya pada Jumat (4/12) mengklaim bahwa pulau seluas 13.000 hektar itu “memiliki semua fasilitas modern, air tawar sepanjang tahun, danau yang indah, dan infrastruktur yang layak serta fasilitas yang memadai”.
Ini termasuk pasokan listrik dan air yang tidak terputus, petak pertanian, tempat perlindungan topan, dua rumah sakit, empat klinik komunitas, masjid, gudang, layanan telekomunikasi, kantor polisi, pusat rekreasi dan pembelajaran, taman bermain dan bendungan pelindung yang mengelilingi area proyek, tambah kementerian. (Althaf/arrahmah.com)