DAMASKUS (Arrahmah.com) – Sebuah bom yang ditargetkan pada bus yang membawa pasukan di ibukota Suriah, Damaskus, meledak dan menewaskan sedikitnya 14 tentara dan melukai tiga lainnya, ungkap TV pemerintah dan seorang pejabat militer.
Serangan terjadi pada Rabu pagi (20/10/2021) dengan cepat diikuti oleh penembakan tentara di provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak, yang menurut petugas penyelamat menewaskan 12 orang.
Pemboman ini adalah yang paling mematikan di ibu kota dalam beberapa tahun, dan peristiwa langka sejak pasukan pemerintah merebut pinggiran kota yang sebelumnya dikuasai oleh pejuang oposisi dalam konflik 10 tahun di Suriah.
Sekitar satu jam setelah ledakan bus, peluru menghujani Ariha di Idlib di barat laut negara itu, salah satu daerah terakhir yang masih dikuasai oleh pemberontak yang berperang melawan Presiden Bashar al-Assad.
Empat anak dan seorang guru dalam perjalanan ke sekolah termasuk di antara mereka yang dipastikan tewas, kata badan anak-anak PBB, UNICEF. Petugas penyelamat mengatakan sedikitnya 30 orang terluka.
“Jumlah anak-anak yang terluka dan tewas terus meningkat,” kata UNICEF dalam sebuah pernyataan.
Statsiun televisi pemerintah Suriah menunjukkan rekaman bus yang hangus di pusat Damaskus dan menyatakan serangan itu terjadi pada jam-jam sibuk ketika orang-orang menuju ke tempat kerja dan sekolah.
Dua alat peledak meledak ketika bus itu berada di dekat jembatan Hafez al-Assad, lansirnya, seraya menambahkan bahwa alat ketiga dijinakkan oleh unit teknis militer.
Sebuah sumber militer yang dikutip oleh kantor berita negara SANA mengatakan bom telah ditanam di dalam bus itu sendiri.
Tidak ada klaim tanggung jawab langsung atas serangan itu.
“Ini adalah tindakan pengecut,” tukas komandan polisi Damaskus Mayor Jenderal Hussein Jumaa kepada TV pemerintah, seraya menambahkan bahwa pasukan polisi segera memblokir daerah itu dan memastikan tidak ada lagi bom. Dia mendesak warga untuk memberi tahu pihak berwenang tentang objek mencurigakan yang mereka lihat.
Joseph Daher, profesor afiliasi dengan proyek Suriah masa perang dan pasca-konflik di European University Institute, mengatakan ledakan Damaskus ini menunjukkan sekali lagi bahwa Suriah “sangat jauh dari stabilitas”.
“Rezim diancam oleh banyak aktor,” katanya, berbicara dari Jenewa. “Jenis aksi teroris ini adalah merek dagang dari apa yang disebut Negara Islam [ISIL], yang meskipun kekalahan 2019 oleh pasukan gabungan AS dan SDF tidak berarti akhir dari organisasi, dan masih menjadi ancaman dan tantangan keamanan terutama setelah perubahan strategi.”
“Ini menunjukkan sekali lagi kita sangat jauh dari stabilitas di Suriah, baik secara politik, militer, atau ekonomi. Kami masih dalam situasi konflik.”
Konflik Suriah, yang dimulai pada Maret 2011, telah menewaskan lebih dari 350.000 orang dan membuat setengah penduduk negara itu kehilangan tempat tinggal, termasuk lima juta yang menjadi pengungsi di luar negeri. (Althaf/arrahmah.com)