“Kamp Rusia….” ujar Jehan Dahadha sebelum ia terdiam. Tatapannya berpindah ke lantai dan Muslimah Palestina berusia 23 tahun itu mulai mendesah sebelum melanjutkan kisahnya.
“Tingkat rasa sakit yang diderita di dalam tahanan Kamp Rusia, apakah itu dari sisi psikologi maupun fisik, membuatnya dapat disebut ‘toko jagal’. Ini tidak cocok bagi manusia tinggal di sana. Bahkan untuk hewan sekalipun.”
Pada usia 19 tahun, Dahadha ditangkap di bawah dugaan Israel bahwa ia merupakan anggota pergerakan Jihad Islam dan ia dibawa pergi dari rumahnya di Ramallah, Tepi Barat.
Dia menghabiskan beberapa hari untuk diinterogasi dalam fasilitas penjara Kamp Rusia di Yerusalem sebelum dijatuhi hukuman penjara selama 16 bulan pada penjara Ha’Sharon di Israel utara.
“Kita sebagai orang Palestina seluruhnya menjadi tahanan, kakakku, ibuku, adikku. Tidak ada rumah Palestina yang tidak mengalami penderitaan, mulai dari penghancuran sampai penangkapan,” ujar Dahadha yang berada dalam kantornya, Adameer Prisoners Support and Human Right Association di Ramallah.
Dahadha mengatakan alasan sebenarnya dirinya ditangkap karena ia terlibat dengan aksi unjuk rasa damai melawan pendudukan Israel, mengunjungi keluarga tahanan politik Palestina dan membantu para tahanan mendapatkan pengacara.
“Ada apa di balik (proses penangkapan dan penahanan Israel), tidak untuk menjaga ketertiban atau menghukum orang-orang yang melanggar hukum, mereka mendirikan penjara untuk merusak mental perlawanan atau menghilangkan ide penolakan pendudukan dalam pikiran Anda,” ujar Ala Jaradat, Direktur Program Addameer.
Sekitar 700.000 orang Palestina telah ditangkap atau ditahan atas perintah militer ISrael sejak 1967.
Selama periode yang sama, hampir 10.000 perempuan Palestina berada dalam penjara Israel.
Saat ini, sekitar 7.000 penduduk Palestina ditahan oleh Israel, 300 diantaranya adalah anak-anak dan 34 kaum perempuan.
“Tahanan perempuan sangat sulit mendapat hak mereka, setiap kali mencoba bernegosiasi, mereka mengalami perlakukan kasar.”
Dahadha mengatakan bahwa penelitian dan informasi yang ia kumpulkan sebelum masuk penjara sangat jauh berbeda dari apa yang dia lihat sendiri.
“Aku membaca dari surat kabar dan internet mengenai tahanan di penjara. Tidak peduli berapa banyak Anda membaca, Anda tidak akan pernah mengerti sampai Anda pergi sendiri ke sana,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa penerangan sangat buruk, makanan tidak sehat dan kehadiran serangga serta kecoa dalam kamar tiap tahanan.
“Mereka memperlakukan kami dengan sangat buruk, bukan sebagai manusia. Manusia bagi mereka, terutama penduduk Palestina, diperlakukan lebih buruk dari binatang,” lanjut Dahadha.
Pelecehan seksual dan intimidasi terus meningkat dan selalu dilakukan saat interogasi untuk memaksa Muslimah Palestina mengakui sesuatu.
Dahadha berbicara mengenai pengalamannya dalam tahanan Israel.
“Hidup saya berubah,” ujarnya. “Aku bertunangan dengan pria Yordania, tetapi setelah aku bebas, mereka melarangku meninggalkan Palestina. setiap aku mencoba melintasi perbatasan, mereka memerintahkanku untuk kembali dan melakukan interogasi.”
Baru bergerak untuk merencanakan pernikahan di musim gugur, Dahadha dan tunangan barunya diancam dengan pidana penjara oleh otoritas Israel.
“Bahkan setelah seorang tahanan telah keluar dari penjara,” ujarnya dengan tersenyum tipis.
“Penyiksaan tidak berhenti sampai disitu.” (haninmazaya/arrahmah.com)