BEIRUT (Arrahmah.id) – Lebih dari 19.000 orang telah mengungsi di Libanon sejak awal Oktober, menurut badan migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di tengah-tengah meningkatnya ketegangan di dekat perbatasan Israel-Libanon setelah meletusnya perang antara “Israel” dan Hamas.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan 19.646 orang telah mengungsi di Libanon sejak mereka mulai melacak pergerakan pada tanggal 8 Oktober, sehari setelah serangan terhadap “Israel” oleh para pejuang Hamas dan serangan “Israel” di Jalur Gaza yang terkepung.
Dikatakan bahwa perpindahan tersebut sebagian besar dilakukan oleh mereka yang melarikan diri dari bagian selatan Libanon, sementara beberapa orang juga pindah dari daerah lain.
“Kami memperkirakan angka-angka ini akan meningkat seiring dengan berlanjutnya ketegangan lintas batas,” kata juru bicara IOM Mohammed Ali Abunajela dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip kantor berita AFP.
Sedikitnya 1.400 orang tewas dalam serangan Hamas, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil, menurut otoritas pendudukan “Israel”.
“Israel” telah membombardir Gaza tanpa henti, menewaskan lebih dari 5.000 orang, sebagian besar warga sipil, menurut pihak berwenang Palestina.
Ketika “Israel” meningkatkan serangannya ke Gaza, kelompok Hizbullah yang didukung Iran, yang berbasis di Libanon selatan, telah meningkatkan serangannya terhadap target-target “Israel”.
“Israel” telah melakukan serangan lintas batas dan pengeboman di Libanon, sementara kelompok-kelompok Palestina juga telah melancarkan upaya penyusupan terbatas ke “Israel”.
Beberapa komunitas telah diperintahkan untuk mengungsi di “Israel”, sementara ribuan orang di Libanon telah melarikan diri dari kota-kota perbatasan ke bagian lain di selatan atau ke daerah-daerah yang lebih dekat ke ibu kota Beirut.
Abunajela mengatakan bahwa pergerakan orang tidak membantu situasi yang sudah “memburuk” di negara itu.
“Di tengah situasi ekonomi yang memburuk dan peningkatan kemiskinan yang signifikan di seluruh populasi di Libanon, perpindahan internal dapat menambah tekanan tambahan pada sumber daya masyarakat setempat,” katanya.
Banyak orang yang telah melarikan diri dari Libanon selatan telah pindah ke utara ke kota pesisir Tyre, yang berjarak 18 km (11 mil) dari perbatasan.
Inaya Ezzeddine, anggota parlemen dari Tyre, mengatakan bahwa gerakan ini membebani keluarga-keluarga yang menampung para pengungsi dan pemerintah negara yang sedang berjuang menghadapi krisis ekonomi.
“Perang ini terjadi di tengah krisis ekonomi yang sangat besar dan orang-orang tidak memiliki bekal,” kata Ezzeddine kepada kantor berita Reuters, seraya menambahkan bahwa sekitar 6.000 orang telah mengungsi ke Tyre dan tiga sekolah telah digunakan untuk menampung sebagian dari mereka.
“Kami tidak dapat membuka semua sekolah karena sekolah-sekolah masih beroperasi. Setiap sekolah yang kami buka [untuk para pengungsi], kami melarang murid-muridnya untuk menggunakannya,” tambahnya. (haninmazaya/arrahmah.id)