Yang terlihat hanya bertumpuk batu bata, logam yang telah berlembar-lembar, dan berbatang-batang kayu yang menghitam. Itulah yang tersisa dari sepuluh rumah warga Palestina di Ezbet Abed Rabu, sebelah timur kota Jabaliya di utara Gaza akibat roket Israel Sabtu lalu.
“Tak ada satupun yang tersisa bagi kami, rumah rubuh dan semua isinya hancur,” ratap Suad Muhammad Abed Rabu, seorang perempuan 53 tahun sembari duduk menghadap ruangan rumahnya yang terbakar.
“Lebih baik kami mati di rumah itu daripada tetap hidup sebagai orang buangan,” nafasnya terpenggal, “Sejak lahir kami sudah menderita. Sejak 1948 kami berpindah dari tempat pengungsian yang satu ke tempat pengungsian yang lainnya, dari satu perang ke perang yang lainnya. Semuanya, termasuk negara Arab dan Eropa, berencana menyerang kami. Mereka tidak pernah menghendaki kami hidup.”
Rumah Abed Rabu ditinggali oleh 14 angggota keluarga. Meskipun sudah sangat hancur, keluarga tersebut memilih untuk tetap tinggal di puing-puing bangunan ketimbang tinggal di tenda pengungsian yang disediakan oleh agen-agen internasional.
Anak-anak bermain-main di tengah reruntuhan rumah yang hancur itu, sementara para orang tua berkumpul di tenda-tenda yang mereka dirikan atau mengantri di kamp pengungsi yang baru dibangun untuk menerima selimut atau barang-barang lainnya.
“Saya di sini untuk menerima selimut,” ujar Muhammad Saleh Abed Rabu, salah seorang pengantri, yang kemudian menjelaskan bahwa rumahnya ikut menjadi sasaran penghancuran brutal Israel. “Buldoser-buldoser itu (milik Israel) menyerang rumah tempat kami tinggal bersama 27 orang lainnya.”
Di wilayah yang sama, 13 rumah milik keluarga Siyam juga diratakan oleh buldoser dan bahan peledak pada hari pertama penyerangan darat zionis Israel di Jalur Gaza.
“Sebelum mereka menghancurkan rumah, kami mendengar banyak ledakan sehingga kami cepat-cepat melarikan diri. Selama kami berlari, beberapa orang tertembak, sebagian meninggal dan sebagaian lagi terluka. Beberapa hari kemudian, ketika kembali ke wilayah tersebut, rumah-rumah kami hanya tinggal puing-puing saja,” Tayseer Siyam mencoba mengingat sembari berdiri di atas reruntuhan bangunan rumahnya. “Saya yakin wilayah kami diserang ketika mereka (Israel) mengetahui bahwa para pejuang tidak ada di sini bersama kami.”
Ribuan rumah di berbagai tempat di Jalur Gaza telah dihancurkan Israel selama tiga minggu berturut-turut, yang dimulai pada 27 Desember lalu dengan dalih menghentikan serangan roket dari wilayah Gaza yang masuk ke sejumlah kota di Israel.
Penghancuran rumah-rumah di Gaza yang menyebar luas ini mengingatkan pada duka rakyat Palestina 1948, ketika Israel memindahkan paksa ratusan warga dari ratusan kota di seluruh Palestina dan menempatkan mereka di pengungsian.
Berdasarkan perkiraan, jumlah kerugian di Jalur Gaza sebanyak 2,4 miliar dolar Amerika dan dibutuhkan waktu sekurangnya dua tahun untuk proses rekonstruksi jika rekonstruksi tersebut dimulai secepat mungkin.
Agen-agen internasional penyalur bantuan bagi Gaza menekankan banyaknya upaya yang harus dilakukan untuk mendampingi warga Gaza menyembuhkan trauma dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan Israel.
Adnan Abu Hasna, juru bicara badan PBB untuk pengungsian (UNRWA) di Gaza mengatakan, “Situasi ini lebih dari sekedar menyedihkan. Kami telah menyediakan tempat pengungsian yang dilengkapi dengan selimut, makanan, dan barang-barang lainnya, tapi ternyata tidak cukup.” (Althaf/arrahmah.com)