Oleh Nindya Ayu Zulkarnain, SE
Musim hujan baru saja tiba, tepat di hari pertama Idulfitri 2024 kota Palembang diguyur hujan deras sehingga membuat sejumlah kawasan mengalami kebanjiran. Bahkan pengendara terutama pengendara motor pun nekat menerobos banjir untuk silahturahmi dengan keluarganya hingga menyebabkan motornya mogok. Beberapa titik di Palembang menjadi objek wisata air dadakan mulai dari polda, bukit, sako dan sekitarnya menjadi salah satu titik yang terdampak oleh genangan air yang lumayan tinggi. Meski saat ini banjir di tempat-tempat tersebut telah berangsur surut, bukan berarti sudah aman dari ancaman banjir susulan.
Begitu pun dengan daerah lainnya. Ancaman banjir bisa terjadi sewaktu-waktu. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Akhmad Bastari, mencatat bahwa jumlah titik banjir di jalan Palembang mengalami penurunan. Walaupun sudah mengalami penurunan tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi banjir diwilayah Palembang dan sekitarnya.
Tak dipungkiri hari ini masalah banjir memang masih menjadi PR besar, tidak hanya bagi pemerintah daerah tetapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim hujan, banjir dan longsor selalu mengancam berbagai daerah di Indonesia.
Penyebabnya pun sangat klise, yakni curah hujan yang tinggi atau problem iklim yang tidak bersahabat. Tentu saja kita tidak boleh lupa bahwa semua penyebab tadi tidak lepas dari faktor manusia. Bukan hanya budaya nyampah, tetapi banyak aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya degradasi daya dukung lingkungan, baik di daerah dataran tinggi, dataran rendah, maupun di daerah pantai.
Sehingga pada akhirnya berdampak pada bencana ekologis yang berulang dan terus meluas. Realitas itu sesungguhnya menunjukkan adanya kegagalan dalam menata kota. Pemerintah abai terhadap daya dukung lingkungan. Alih-alih menjaga dan melindungi rawa sebagai penyangga hidrologi, justru banyak rawa yang dialihfungsikan.
Sebagaimana di lansir dari suarasumsel.id (27/12/2021) menyatakan bahwa sedikitnya terjadi 207 kasus kejahatan tata ruang terhadap Perda RT RW Kota Palembang 2012-2032, berupa alih fungsi RTH dan rawa konservasi maupun rawa budidaya yang diduga untuk dijadikan industri. Baik industri properti (perumahan), hotel, showroom mobil, peternakan, industri dan lainnya. Adapun luas alih fungsi lahan RTH dan rawa yang terjadi sejak 2014-2021, mencapai 404,19 hektar. Kemungkinan akan terjadi peningkatan setiap tahunnya apabila diliat hari ini di daerah sako borang sudah banyak rawa- rawa yang dibuka untuk proses pembangunan perumahan, perkantoran dll.
Penyebab Banjir Sesungguhnya
Berbagai penyebab banjir di atas sesungguhnya menampakkan kegagalan pemerintah. Terlebih lagi, banjir di Palembang rutin terjadi. Pemerintah sebenarnya telah memiliki BMKG yang bisa memberikan prediksi cuaca. Seharusnya, pemerintah serius melakukan antisipasi. Sayang, alih-alih terhenti nyatanya tiap tahun banjir justru menjadi-jadi.
Sementara bila ditilik lebih dalam, penyebab utama kegagalan pemerintah mengatasi banjir ini karena penerapan sistem sekulerisme kapitalisme. Dimana sistem kapitalisme berorientasi pada keuntungan materi. Para kapitalis pemilik modal akan rela melakukan apa saja demi laba yang sebesar-besarnya. Sayangnya, karena sekulerisme -agama dipisahkan dari kehidupan- maka para penguasa di negara yang menerapkan sistem kapitalis pun mudah tergiur dengan bujuk rayu materi dan kekuasaan. Penguasa abai dari amanahnya mengurusi rakyat. Penguasa bersekongkol dengan pengusaha menggunakan kekuasaan demi materi.
Solusi Islam dalam Mengatasi Banjir
Solusi agar banjir tidak semakin parah, bahkan bisa total teratasi tentu butuh langkah-langkah perubahan secara fisik maupun nonfisik. Adapun terkait perubahan fisik mesti dilakukan sebagaimana yang disarankan para ahli. Dengan kekuasaannya, para pemangku kebijakan harusnya bisa memperbaiki kolam-kolam retensi yang diperlukan, optimalisasi pompanisasi, normalisasi daerah aliran sungai, menghilangkan penyumbatan, menyudahi aktivitas yang merusak lingkungan seperti pengalihfungsian rawa, dan sebagainya.
Pemerintah juga harus mendorong dan memfasilitasi para ahli untuk berinovasi menemukan teknologi pembangunan yang tidak merusak alam. Selain itu, pemerintah juga sudaah seharusnya tegas dalam menegakkan peraturan serta menindak tegas para perusak lingkungan. Maka para pembuat peraturan pun mesti merujuk kepada wahyu dan mengutamakan kemaslahatan rakyat.
Kemudian terkait langkah-langkah fisik untuk mengatasi banjir tersebut mustahil terwujud bila tidak diimbangi dengan langkah nonfisik. Langkah nonfisik yang seharusnya dilakukan adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, meningkatkan ketakwaan kepada-Nya, memperbanyak doa serta masyarakatpun harus menghindarkan diri dari kemaksiatan dan kembali kepada syariat Allah. Sebagaimana Allah memperingatkan dalam firmannya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Telah masyhur dipahami sebagaimana ditafsirkan para mufasir bahwa dalam ayat tersebut yang dimaksud perbuatan tangan manusia ialah kemaksiatan. Sebaliknya, jika manusia menahan diri dari perbuatan maksiat dan meninggalkan hal yang diharamkan Allah, maka keberkahan akan diberikan Allah dari langit dan bumi. Karena itu, perubahan besar harus dilakukan umat. Bukan semata melakukan perubahan fisik, tetapi juga perubahan non-fisik berupa perubahan pemikiran. Yaitu dengan meninggalkan pemikiran sekuler yang mengabaikan syariat Islam.
Kemudian beralih kepada pemikiran Islam. Mendekatkan diri kepada Allah dengan menerapkan Islam secara kaffah (totalitas). Tanpa solusi Islam kaffah maka langkah-langkah perubahan fisik untuk mengatasi banjir tersebut mustahil terwujud. Sebab, para kapitalis akan terus berusaha memuluskan jalan demi kepentingan mereka. Karena itu, solusi mustanir (cemerlang) ialah menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam institusi negara.
Wallahua’lam