BEIRUT (Arrahmah.id) — Pertempuran terjadi antara Israel dan kelompok Syiah Hizbullah yang ada di Lebanon. Namun hingga kini, pemerintah Lebanon sendiri tak menurunkan tentara untuk membantu Hizbullah melawan Israel.
Ketiadaan tentara Lebanon dalam krisis saat ini menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas lembaga negara untuk menghadapi konflik besar. Ketika konflik antara Israel dan Hizbullah di Lebanon terus bergerak menuju perang langsung, banyak yang bertanya, apakah Lebanon memiliki tentara dan mengapa tidak terlihat?
Namun, peran dan tempatnya dalam konflik jauh lebih rumit daripada yang mungkin dipikirkan orang. Hal ini setidaknya dijelaskan jenderal tentara Lebanon yang sedang cuti dan profesor geopolitik di St Joseph University of Beirut, Khalil Helou.
Sebagaimana dilansir Euronews (26/9/2024), ia mengatakan bahwa peran tentara Lebanon di Lebanon bukan hanya untuk mempertahankan perbatasan negara. Sifatnya lebih dari “fungsi klasik” seperti yang terjadi di Barat.
“Ini bukan tentara klasik seperti tentara Barat. Tentara Lebanon tunduk pada instruksi pemerintah Lebanon,” katanya.
“Untuk saat ini dan untuk waktu yang lama, telah terjadi perpecahan yang ekstrem. Tentara dibiarkan sendiri. Sekarang siapa pun yang memimpin angkatan darat, menjadi panglima tertinggi angkatan darat, mereka harus mengambil keputusan yang mereka anggap tepat,” tegasnya.
Kepemimpinan Lebanon sendiri memiliki banyak masalah penting, mempertimbangkan banyak hal ketika mengambil suatu keputusan. Di mana, segala sesuatu akan memiliki konsekuensi serius.
Ini bisa berimplikasi pada kemungkinan tentara Israel mengubah serangan udara saat ini menjadi operasi darat seperti yang dilakukan pada tahun 2006. Ini juga bisa berarti kekerasan meluas dari Lebanon selatan dan Lembah Bekka ke seluruh negeri dan bisa membahayakan seluruh Timur Tengah.
Perlu diketahui Lebanon Selatan dan Lembah Bekka kini memang jadi pusat pertempuran. Namun seharusnya wilayah ini berada di bawah naungan hukum Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1701 sesuai perjanjian damai di 2006.
Resolusi ini menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB, UNIFIL. Resolusi ini juga memberikan peran aktif kepada tentara reguler Lebanon dan menyerukan kepada Pemerintah Lebanon dan UNIFIL “untuk mengerahkan pasukan mereka bersama-sama”.
Sehingga “tidak akan ada senjata tanpa persetujuan Pemerintah Lebanon” di sana. Ini juga membuat “tidak ada otoritas lain selain Pemerintah Lebanon”.
Resolusi itu sebenarnya berlaku setelah penarikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Hizbullah juga seharusnya menarik kelompok bersenjatanya keluar dari Lebanon Selatan, dan khususnya sistem misilnya yang mampu menargetkan Israel meski kelompok itu tidak mematuhi komitmen tersebut hingga kini.
Hal ini kemudian membuat angkatan bersenjata Lebanon akan menghadapi dilema. Di mana mereka harus menghadapi tentara Israel sekaligus melucuti senjata Hizbullah dengan paksa dengan dalih mematuhi resolusi PBB dalam kedua kasus.
“Jika terjadi serangan darat, unit-unit yang ditempatkan di selatan harus mempertahankan diri dan harus mempertahankan wilayah Lebanon dengan sarana yang mereka miliki,” jelas Helou.
“Namun pada dasarnya, misi brigade yang ditempatkan di Selatan adalah bekerja sama dengan UNIFIL dan bukan dengan penggunaan kekuatan. Jadi, ini bukan pasukan penyerang, ini bukan pasukan yang akan menentang Israel. Keseimbangan kekuatan sama sekali tidak berpihak pada kita dalam kasus ini,” tambahnya.
Hizbullah sendiri secara formal adalah kekuatan politik Lebanon yang sah dan konstitusional. Sebagian besar terdiri dari Syiah Lebanon.
Angkatan bersenjatanya beroperasi sebagai kontingen yang sangat operasional. Bahkan, asing bagi struktur komando tentara Lebanon.
Ketika Hizbullah mengambil inisiatif sepihak untuk menargetkan Israel, kekuatan politik Lebanon lainnya dan tentaranya lumpuh total. Menentang Hizbullah akan diartikan sebagai perang saudara.
“Banyak orang Lebanon dari berbagai aliran tidak akan melihat kekalahan Hizbullah sebagai masalah, mereka dapat dengan mudah menerimanya sebagai bagian penting dari tentara Lebanon. Namun, di Lebanon semua orang tahu bahwa ada garis merah antar-komunitas yang tidak dapat dilanggar,” ujar Helou.
“Menghadapi Hizbullah adalah resep langsung dan otomatis untuk perang saudara,” tambahnya.
“Dan komando tentara tahu bahwa prioritas utama adalah stabilitas internal terlebih dahulu daripada perang yang dapat berlarut-larut antara tentara itu sendiri dan Hizbullah.” (hanoum/arrahmah.id)