Damaskus, kota yang menyimpan sejarah panjang peradaban, menjadi saksi bisu perjuangan panjang rakyat Suriah dalam mencapai kebebasan. Di antara jutaan suara yang menyambut kemenangan ini, ada kisah seorang gadis bernama Lea Khairallah yang merekam salah satu momen paling berharga dalam hidupnya.
Lea, seorang gadis muda dari lingkungan Mezzeh di Damaskus, menjalani hidup yang tak jauh berbeda dari wanita muda lainnya. Kesehariannya diisi dengan perhatian pada keluarga, semangat belajar, dan cita-cita besar untuk masa depan. Seperti banyak teman sebayanya, ia percaya bahwa momen wisuda universitas kelak akan menjadi titik balik paling penting dalam hidupnya. Namun, segalanya berubah pada 10 Desember 2024, hari yang kemudian dicatat sebagai tonggak sejarah baru bagi Suriah.
Hari itu, Damaskus akhirnya bebas dari belenggu tirani. Para pejuang revolusi, bersama pemimpin yang mereka hormati, memasuki kota dan menyapa warga yang telah lama menanti kebebasan. Mezzeh, tempat Lea tinggal, menjadi salah satu tujuan kunjungan mereka.
“Peristiwa ini tidak hanya tentang pembebasan sebuah kota, tetapi juga kebangkitan harapan,” kenang Lea. “Kami menyaksikan sejarah yang akan diceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu kami, lengkap dengan foto-foto dan cerita yang akan terus hidup dalam ingatan kolektif kami.”
Di tengah euforia itu, Lea dan teman-temannya memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan para Mujahidin Suriah dan pemimpin mereka. Baginya, bertemu sosok yang sebelumnya hanya dikenal lewat berita terasa seperti mimpi. “Aku merasa kecil berdiri di hadapan mereka. Mereka adalah orang-orang mulia yang telah mengorbankan segalanya untuk kebebasan kami,” ujarnya penuh haru.
i would've asked 'what are we' pic.twitter.com/JUAevHTZ8b
— 𓍢ִ໋🌷͙֒✧ (@salambuponyou) December 13, 2024
Momen yang paling membekas di hati Lea adalah saat teman-temannya meminta izin kepada sang pemimpin agar Lea dapat berfoto bersamanya. Permintaan sederhana itu berubah menjadi pengalaman yang penuh makna. Dengan kelembutan seorang ayah, pemimpin itu meminta Lea untuk menutupi rambutnya sebelum berfoto bersamanya. “Beliau tidak memaksa wanita lain untuk menutupi rambut mereka, tetapi jika mereka ingin berfoto dengannya, itu adalah haknya untuk menetapkan standar sesuai prinsipnya,” ungkap Lea.
Permintaan itu, meski sederhana, mengandung makna mendalam bagi Lea. Ia merasa dihargai dan dilindungi, seperti seorang putri yang berada di bawah naungan seorang ayah. Di hari itu, Lea menyaksikan bukan hanya kemenangan melawan tirani, tetapi juga kemenangan nilai-nilai kebaikan—ketaatan kepada Tuhan, cinta terhadap sesama, dan perjuangan untuk keadilan.
Hari itu menjadi awal baru bagi Damaskus. Ribuan warga yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketakutan akhirnya merasakan keamanan di bawah perlindungan seorang pemimpin yang adil. Bagi Lea, pengalaman tersebut meninggalkan jejak yang lebih dalam.
“Tuhan memberkatiku dengan kesempatan ini,” ujarnya. “Aku merasa lebih dekat dengan-Nya. Kemenangan ini bukan hanya tentang merebut kembali tanah air kami, tetapi juga tentang memperkuat iman kami.”
Lea menyadari bahwa ia berutang banyak kepada para pejuang revolusi. Mereka tidak hanya membebaskan kotanya, tetapi juga membangkitkan keyakinannya pada kebaikan yang lebih besar. Baginya, pembebasan Damaskus adalah bukti bahwa keadilan, iman, dan cinta dapat menjadi kekuatan yang menyatukan dan memenangkan segalanya.
Kisah Lea Khairallah adalah salah satu dari banyak kisah yang mewarnai perjuangan rakyat Suriah. Di tengah derita dan kehancuran, ia menjadi simbol harapan—harapan bahwa kebebasan, iman, dan kebaikan selalu memiliki tempat di tengah dunia yang penuh tantangan. (saifalbattar/arrahmah.id)