JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan Surat Edaran KPI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan. Dalam surat edaran tersebut, KPI melarang lembaga penyiaran untuk menampilkan pendakwah yang berasal dari organisasi terlarang.
Meski KPI tidak menyebutkan secara terperinci organisasi terlarang yang dimaksudkan dalam surat edaran tersebut dan menyatakan bahwa itu merupakan ranah pemerintah serta Majelis Ulama Indonesia(MUI), namun poin tersebut menuai kritik dari beberapa pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menilai aturan tentang organisasi terlarang tersebut dapat melanggar kebebasan berekspresi dan stigma terhadap seseorang. Menurut Ade, KPI semestinya fokus pada ujaran kebencian kepada kelompok tertentu sehingga siapapun yang melanggar perlu diproses sesuai hukum.
“Harusnya surat edaran itu ke sana. Bagaimana pemerintah atau KPI bisa bergerak secara cepat ketika terdapat ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan kebijakan,” jelas Ade Wahyudin kepada VOA, pada Ahad (28/3).
Ade juga sependapat lembaga penyiaran melakukan saringan terhadap narasumber yang berpotensi menyebarkan ujaran kebencian atau kekerasan yang dapat memicu konflik di masyarakat.
Terkait tudingan “organisasi terlarang” yang dialamatkan sejumlah pihak kepada FPI, maka mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menegaskan bahwa FPI bukan Ormas terlarang.
Melalui akun twitternya, @hamdanzoelva, pada Ahad (3/1/2021), Hamdan Zoelva menyatakan pelarangan FPI tidak sama dengan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“FPI bukan Ormas terlarang seperti PKI, tetapi organisasi yang dinyatakan bubar secara hukum dan dilarang melakukan kegiatan yang menggunakan lambang atau simbol FPI. Tidak ada ketentuan pidana yang melarang menyebarkan konten FPI karenanya siapa pun yang mengedarkan konten FPI tidak dapat dipidana. Sekali lagi objek larangan adalah kegiatan yang menggunakan simbol atau atribut FPI oleh FPI,” tulis Hamdan.
“Menurut Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013, ada tiga jenis Ormas yaitu Ormas berbadan Hukum, Ormas Terdaftar dan Ormas Tidak Terdaftar. Ormas tidak terdaftar tidak mendapat pelayanan pemerintah dalam segala kegiatannya, sedangkan Ormas terdaftar mendapat pelayanan negara,” imbuhnya.
“UU tidak mewajibkan suatu Ormas harus terdaftar atau harus berbadan hukum. Karena hak berkumpul dan bersyerikat dilindungi konstitusi. Negara hanya dapat melarang kegiatan Ormas jika kegiatannya mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau melanggar nilai-nilai agama dan moral”, pungkas Hamdan. (rafa/arrahmah.com)