JAKARTA (Arrahmah.id) – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU-PDP) memasuki tahap akhir. Pemerintah dan DPR didesak mengeluarkan pasal-pasal yang bakal merugikan masyarakat.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan ada beberapa pasal yang janggal. Maka dari itu, mereka mendesak pemerintah dan DPR menghilangkan pasal yang bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik.
“Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik seperti Pasal 4 ayat (2) huruf d, Pasal 15 ayat (1), Pasal 64 ayat (4), Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) RUU PDP,” ujar Ade Wahyudin dari LBH Pers, Selasa (20/9/2022), lansir Liputan6.
Ade menyadari RUU PDP ini sangat dibutuhkan mengingat maraknya pelanggaran data pribadi. Namun yang disayangkan Ade yakni minimnya pelibatan masyarakat dalam menyusun regulasi ini.
“Betapa tidak, pelibatan masyarakat terasa amat minim, bahkan masukannya cenderung diabaikan begitu saja. Akibatnya, pasal-pasal yang tertuang dalam naskah dipenuhi dengan nuansa ancaman atas hak masyarakat untuk dapat memperoleh informasi. Tidak cukup itu, kemerdekaan pers pun berada di titik nadir,” ujar Ade.
Ade mengaku, setelah dirinya membaca naskah RUU PDP, dia mempertanyakan sejauh mana RUU PDP melindungi data pribadi seorang pejabat atau tokoh publik. Menurut Ade ini menarik, lantaran dalam banyak kesempatan rekam jejak pejabat publik penting diketahui masyarakat secara luas.
Ade mencontohkan, informasi tokoh publik yang sedang mengikuti kontestasi politik pemilu legislatif. Jika calon pernah mempunyai catatan buruk di masa lalunya, apakah catatan buruk itu tak bisa diakses oleh masyarakat.
“Sebab, Pasal 240 UU Pemilu mensyaratkan seorang eks terpidana untuk mendeklarasikan rekam jekam status hukumnya. Apabila pelindungan data pribadi justru menghalangi publik untuk mengetahui suatu informasi yang patut diketahuinya, maka hal tersebut justru bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945,” kata Ade.
Pasal itu berbunyi ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia’.
Tak hanya itu, dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya’ dan ‘Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia’.
“Untuk itu, hak atas informasi publik juga penting dan bagian dari hak asasi manusia sehingga tidak boleh diabaikan serta harus dipenuhi pula oleh negara,” kata dia.
Bukan hanya menyangkut pemilu legislatif saja, ancaman kriminalisasi masyarakat juga dapat mewarnai proses seleksi pimpinan penegak hukum, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bisa dibayangkan, di tengah maraknya calon-calon bermasalah melenggang maju pada proses pemilihan namun masyarakat dipaksa untuk mendiamkan jika mengetahui rekam jejak buruknya.
“Maka dari itu, larangan itu jelas merupakan pembiaran dan ahistoris dengan permasalahan saat ini. Ditambah lagi, konsep semacam itu terang benderang melanggar partisipasi masyarakat sebagaimana diatur Pasal 41 ayat (1) dan (2) huruf b UU Tipikor,” kata Ade.
Menurut dia, pasal dalam regulasi RUU PDP yang sangat berpotensi melanggar hak atas informasi publik adalah Pasal 65 ayat (2). Adapun substansinya menyatakan bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.
“Apabila melanggar pasal tersebut maka akan dipidana,” kata Ade.
Selain itu, Pasal 64 ayat (4) RUU PDP juga mengatur bahwa penyelesaian sengketa Pelindungan Data Pribadi, proses persidangan dilakukan secara tertutup apabila untuk keperluan melindungi data pribadi. Kemudian pada Pasal 4 ayat (2) huruf d RUU PDP menyatakan bahwa data pribadi yang dilindungi salah satunya berupa catatan kejahatan.
Lalu Pasal 65 ayat (2) maupun Pasal 67 ayat (2) RUU PDP yang mengatur mengenai sanksi pidana diatur secara umum tidak memberikan batasan yang pasti serta pengertian setiap unsur secara rinci.
“Hal itu menyebabkan pasal tersebut rentan disalahgunakan,” ucap Ade.
Kemudian Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 64 ayat (4) RUU PDP berpotensi mengancam kerja-kerja jurnalistik dalam meliput suatu sengketa pelanggaran data pribadi di pengadilan, serta dalam melakukan peliputan mengenai catatan kejahatan seseorang terlebih pejabat publik.
Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Pers yang pada pokoknya menyebutkan bahwa ‘Pers melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar maupun sarana lainnya’.
“Maka dengan pasal dalam RUU PDP tersebut, jurnalis yang melaksanakan kerja jurnalistiknya akan dengan mudah dibatasi serta dikriminalisasi. Selain itu, penyusunan RUU PDP terbukti tidak mempertimbangkan aturan lain yang semestinya disinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan. Ini juga bukti konkrit pembahasan RUU PDP terlalu terburu-buru,” kata dia.
Dia menyebut pentingnya peran pers sebenarnya telah mendapatkan penegasan dari berbagai negara, salah satunya dari Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights) yang menyebut bahwa media massa lah yang membuat pelaksanaan kebebasan berekspresi menjadi kenyataan karena pers punya tugas untuk menyebarluaskan informasi dan gagasan kepada masyarakat.
“Apabila hal ini tidak dijamin, maka pers tidak bisa memainkan peran sebagai kontrol sosial,” kata dia.
Sementara Mahkamah Agung Jepang juga menyebut bahwa laporan yang dibuat oleh media tentang politik memberikan informasi yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk membuat keputusan politik dan melayani hak masyarakat untuk menerima informasi.
Sehingga pers yang melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya harus sedapat mungkin dikecualikan dalam pengaturan mengenai data pribadi tersebut, guna untuk menjamin keterbukaan informasi publik serta kemerdekaan pers.
“Atas penjelasan di atas, maka LBH Pers, AJI Indonesia dan ICW mendesak pemerintah dan DPR untuk membuka partisipasi masyarakat secara bermakna dalam penyusunan serta pembahasan RUU PDP,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)