GAZA (Arrahmah.id) — Perang Gaza yang sudah berlangsung lebih dari 14 bulan sejak 7 Oktober 2023 mempertontonkan dua strategi tempur dua kubu yang bertolak belakang.
Kelompok Perlawanan Palestina Hamas menggunakan strategi gerilya yang disempurnakan dengan mengadopsi cara milisi Syiah Hizbullah Lebanon saat berperang dengan Israel pada tahun 2000 silam.
Dilansir Maariv (31/12/2024), startegi Hamas ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan tentara pendudukan Israel (IDF)
“Ada kecemasan di IDF tentang upaya Hamas untuk menerapkan sebagian besar taktik perang gerilya yang digunakan Hizbullah terhadap tentara Israel di wilayah zona keamanan di Lebanon selatan sebelum menarik diri pada tahun 2000,” tulis laporan itu dikutip Khaberni (31/12).
Menurut surat kabar tersebut, Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas, menggabungkan metode pertempuran gerilya Hizbullah yang terinspirasi oleh arena perang di Lebanon.
“Metode itu, termasuk melakukan penyergapan, memasang alat peledak berkekuatan tinggi di bawah tanah, dan merekam serangan melawan pasukan tentara Israel dengan tujuan mencapai dampak psikologis yang luas,” kata laporan itu.
Surat kabar tersebut merujuk pada serangan serius yang terjadi di sebuah situs bebenteng milik Batalyon Brigade Givati di Jabalia, Gaza Utara.
Sergapan itu terjadi ketika tentara Israel sedang bersiap berangkat dari pos militer untuk melakukan operasi pencegatan.
Tiba-tiba sekitar dua puluh pria bersenjata menyerang dan memasuki lokasi tersebut, menyebabkan sejumlah Tentara Israel tewas dan 20 lainnya luka-luka.
“IDF telah menyelesaikan penyelidikannya atas kejadian tersebut, dan yang digambarkan sebagai kejadian yang sangat serius,” menurut surat kabar tersebut.
Di antara hasil yang muncul dari investigasi IDF adalah bahwa anggota Hamas memfilmkan serangan tersebut dari jarak dekat
Laporan itu menggambarkan, serangan sergapan tersebut menggambarkan kalau pasukan IDF sama sekali tidak mengetahui ada penyusupan, mirip saat Hizbullah menyergap ke posisi tentara pendudukan Israel di zona keamanan di Lebanon Selatan.
Sebaliknya di pihak Israel, militer IDF dilaporkan telah menghabiskan lebih dari satu dekade mengembangkan “pabrik Artificial Intelligence (AI),” sebuah sistem yang digunakan untuk mendukung serangan militernya di Gaza sejak 7 Oktober 2023, lapor The Washington Post.
Mengutip beberapa sumber yang akrab dengan penggunaan kecerdasan buatan Israel di Gaza, harian itu melaporkan bahwa Israel telah memajukan teknologi AI selama lebih dari 10 tahun untuk menargetkan lokasi di Gaza secara lebih efisien.
Beberapa sumber, termasuk mantan personel militer Israel, menyatakan keprihatinan kalau penggunaan AI militer Israel telah secara signifikan meningkatkan korban sipil.
Laporan itu mengungkapkan kalau sistem AI, termasuk “Gospel” dan “Lavender,” memproses intelijen dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sistem AI ini memungkinkan militer Israel untuk mengebom 12.000 target di Gaza dalam beberapa minggu.
“Tentara Israel bekerja dalam apa yang digambarkan sebagai “pabrik target,” memprioritaskan kecepatan di atas penilaian intelijen dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk evaluasi menjadi hanya tiga menit,” kata laporan itu. (hanoum/arrahmah.id)