(Arrahmah.com) – Berdasarkan data KPK, jumlah perkara korupsi yang melibatkan BUMN/BUMD mencapai 11 kasus pada 2016. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan tahun 2015 yang hanya 5 kasus. Pada tahun-tahun sebelumnya pun, jumlah perkara yang melibatkan BUMN/BUMD paling banyak 7 kasus, yakni pada 2010. Indikasi lainnya terlihat dari laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang diterima Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/04/15/070000926/korupsi.bumn.yang.makin.menggila.)
Nafas peradaban kapitalisme
Inilah peradaban kapitalisme, yang menekankan nilai material daripada moralitas yang menghasilkan individu yang mau menipu, berbohong dan melanggar hukum demi keuntungan pribadi atau ekonomi. Hal ini menjadi semakin jelas dan mengkhawatirkan tren dalam dunia modern. Masyarakat menonton oleh satu skandal demi skandal. Kepercayaan tidak lagi ada. Inilah realitas menyedihkan.
Tidak mengherankan bahwa sebuah ideologi seperti Kapitalisme, yang menekankan nilai material daripada moralitas, akan menghasilkan individu yang bersedia tidak ‘membungkuk’ pada pelayanan terhadap masyarakat tapi melanggar hukum demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kapitalisme tidak hanya menghasilkan instrumen untuk menciptakan masyarakat yang kacau, namun juga memberi dampak banyak orang gangguan depresi terhadap masalah nyata kehidupan sehari-hari.
Biaya politik tinggi itu menjadi ciri bawaan demokrasi kapitalisme. Pemilihan penguasa dan wakil rakyat melalui pemilu membutuhkan dana besar untuk membangun citra, mengenalkan calon, mendapatkan kendaraan partai, membujuk pemilih, menggerakkan mesin partai dan sebagainya. Bukan sistem politik demokrasi kalau tidak berbiaya tinggi. Dengan sifat seperti itu, sistem politik demokrasi menjadi sistem yang buruk dan berbahaya bagi kepentingan rakyat.
Untuk bisa masuk dalam sistem politik seperti itu hanya bisa dilakukan mereka yang memiliki modal uang. Modal terkenal dan ketokohan saja seringkali belum cukup. Apalagi ketika rakyat pun terformat menjadi pragmatis dan melihat kepentingan sesaat akibat didikan sistem politik pragmatis ini dan oleh sikap pragmatis politisi dan penguasa. Dalam kondisi seperti itu, politik uang menjadi hal lumrah.
Dalam kamus kapitalis, motivasi yang ada hanyalah motivasi materi dan mendapatkan keuntungan materi. Sistem politik yang melibatkan modal pun akhirnya dikelola seperti halnya industri menjadi sebuah industri politik. Biaya yang dikeluarkan dianggap sebagai modal yang ditanam dan harus kembali berikut keuntungan. Dalam sistem seperti itu, masuknya modal atau biaya tinggi membuat praktek politik transaksional menjadi biasa.
Jika politisi atau calon penguasa tidak punya modal sendiri, modal itu bisa dia dapatkan dari para cukong kapitalis yang siap memberikan modal. Lahirlah kolaborasi (baca persekongkolan) pemodal dengan politisi dan penguasa. Biaya yang diberikan cukong itu adalah modal yang dia tanam dan tentu saja harus kembali berikut untungnya. Politisi dan penguasalah yang harus merealisasikan itu atau setidaknya memberi “jalan“. Akhirnya disamping kepentingan sendiri, kepentingan cukong itu menjadi yang utama.
Disamping itu, biaya politik yang tinggi itu juga diduga menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi. Pasalnya, biaya yang telah dikeluarkan harus kembali. Segala cara akan ditempuh untuk mengembalikan modal itu sekaligus mengumpulkan modal untuk proses berikutnya. Selain korupsi, menjadi makelar baik makelar jabatan atau anggaran pun jadi. Apalagi memang politisi khususnya wakil rakyat memiliki pengaruh terhadap penentuan jabatan dan anggaran melalui kekuasaan anggaran, legislasi dan kontrol terhadap eksekutif.
Pada akhirnya, terjadilah persekongkolan pemodal-politisi-penguasa/pejabat. Kepentingan mereka dan kelangsungan posisi, jabatan dan kekuasaan menjadi yang mereka utamakan. Akibatnya, kepentingan rakyat terabaikan. Kepentingan rakyat tidak lebih hanya dijadikan komoditi, barang jualan selama kampanye.
Walhasil, masalah ini tidak hanya terletak pada individu atau institusi saja, tetapi akibat sistem demokrasi-kapitalisme itu sendiri yang menciptakan pola pikir yang menghasilkan perilaku dan praktik korupsi ini. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa beberapa orang berpengaruh dan berkuasa melihat pola pikir ini sebagai kebajikan, terlepas dari rasa jijik masyarakat luas saat korupsi terbongkar.
Pandangan Islam
Penipuan, manipulasi dan kebohongan semuanya berada dalam aturan dan motivasi kapitalisme. Sebaliknya, bisnis dan aturan perdagangan Islam dibangun berdasarkan prinsip kepercayaan, integritas, keterbukaan dan transparansi. Berbeda dengan kapitalisme, Islam tidak hanya menghentikan tindakan korup namun akar korupsi dan penipuan terputus. Hal ini memastikan bisnis dicirikan dengan baik dan tidak bohong, jika ini tidak dihentikan maka pada akhirnya akan mengarah pada hancurnya kepercayaan dan integritas di antara semua transaksi bisnis. Korupsi yang meluas dalam kapitalisme yang kita lihat terbuka cepat mendekati skala di mana kepercayaan massa tergerus yang pada akhirnya akan merusak sistem itu sendiri.
Korupsi dan suap menyuap bukanlah hal baru dan telah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat selama ribuan tahun. Islam membahas masalah ini lebih dari 1400 tahun yang lalu dengan Nabi Muhammad (saw) mencela penyuapan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh DariIbnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
Tuntunan dari Nabi Muhammad SAW jelas mengutuk penyuapan maupun korupsi di semua tingkat yang memastikan bahwa hal itu diberantas dari semua aspek masyarakat. Dampak penyuapan dan korupsi di berbagai lini dalam kaitannya dengan efek korosifnya politik demokrasi. Larangan mutlak penyuapan dan korupsi ini adalah contoh lain dari undang-undang di Syariah yang akan memiliki efek transformatif terhadap kehidupan publik yang diterapkan di dunia Muslim yang membangun kepercayaan pada pejabat dan melindungi integritas institusi pemerintah. Saatnya kita berbenah.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)
(*/arrahmah.com)