Tindakan sebagian warga yang dengan inisiatif sendiri bergerak membabat tempat maksiat, terlebih menjalng bulan suci tiap tahunnya, selalu menuai pro dan kontra. Ada yang membenarkan tindakan warga tersebut karena aparat yang seharusnya membersihkan, malah terkesan melindungi bahkan jadi beking. Ada pula yang menyalahkan karena dianggap main polisi sendiri. Semuanya sebenarnya bisa mengacu pada perundangan yang ada.
Mengenai hal tersebut, anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, H. Tubagus Arif, S. Ag, menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) sebenarnya telah mengatur semua ini. “Pemerintah Jakarta jika mau menegakkan hal ini sebenarnya sudah ada peraturannya. Ini seharusnya sudah dilakukan sejak dulu, jadi tanggungjawab Pemda, bukan warga.”
Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 98/2004 tentang Waktu Penyelenggaraan Industri Pariwisata di Provinsi DKI Jakarta. Pasal 4 Ayat 1 dari SK itu menyebutkan, “Untuk menghormati bulan Ramadhan, Hari Idul Fitri dan Idul Adha, Pemda DKI mengharuskan bisnis hitam ini tutup satu hari sebelum dan selama bulan suci, selama dan satu hari setelah Idul Fitri, satu hari sebelum dan selama Idul Adha.”
Industri pariwisata yang dimaksud pada Ayat 1 tersebut adalah klub malam, diskotek, mandi uap, griya pijat, permainan mesin keping jenis bola ketangkasan, dan usaha bar yang berdiri sendiri maupun yang terdapat pada klub malam, diskotek, mandi uap, griya pijat, dan permainan mesin keping jenis bola ketangkasan.
Sementara usaha karaoke dan musik hidup yang diatur pada ayat kedua dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan mulai pukul 20. 30 WIB sampai pukul 01. 30 WIB. Sedangkan usaha bola sodok sebagaimana diatur pada ayat 3 dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan dengan pengaturan, antara lain bagi yang berlokasi dalam satu ruangan dengan usaha klub malam, diskotek, mandi uap, griya pijat, bola ketangkasan, dan bar harus tutup.
Dalam pandangan H. Tubagus Arief, karena umat Islam mayoritas, seharusnya Pemerintah DKI Jakarta lebih berpihak kepada kaum muslimin, dalam arti menghormati orang yang berpuasa. Terhadap alasan klise soal tenaga kerja, perda juga telah mengaturnya.
“Di Perda, tanggungjawab tenaga kerja diserahkan kepada para pengusaha. Jadi Perda itu sifatnya sudah mencakup seluruh aspek, termasuk tenaga kerja, lengkap diatur di situ,” tandasnya.
Terkait aksi FPI yang sering menuai pro-kontra, Tubagus Arief menilai, seharusnya pemerintah bangga terhadap masyarakatnya. Karena ada kelompok masyarakat yang menginginkan masyarakatnya bebas dari maksiat, beribadah dengan tenang, dan khusyu’. “Mestinya, kalau ada anggota masyarakat yang melakukan dukungan (seperti FPI) dalam memberantas maksiat, pemerintah harusnya mensupport bahkan mengarahkan sehingga jangan sampai sebelum teman-teman FPI men-swipping, melakukan tindakan anarkis,” tambahnya.
“Sebulan lagi Ramadhan pemerintah jangan diam tapi harus cepat bergerak. Jangan sampai hanya menunggu hingga istilahnya sudah kebakaran jenggot, nyalahin orang, harusnya jadi warning, setiap tahun hal seperti itu berulang, padahal itu terjadi karena pemerintah sendiri kurang antsipasinya,” lanjutnya lagi.
Tentang mentalitas aparat, Tubagus Arief setuju bahwa karena kebobrokan aparatlah, Perda atau aturan yang lainnya hanya jadi macan kertas. “Betul, ini soal mentalitas aparat, yang seperti itu kan sudah terdata. Dinas pariwisata kan tahu mana tempat-tempat hiburan yang legal dan tak legal. Itu datanya ada di Dinas Pariwisata dan Trantib. Seharusnya pemda DKI Jakarta tidak lagi mentolerir terhadap hal-hal seperti itu. Penyalahgunaan tempat hiburan jadi tempat maksiat. Pemerintah sudah tahu hal seperti itu dan mereka tak boleh buta terhadap hal seperti itu, harus cerdas. Kita inginkan itu tak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, sudah harus dipikirkan ke depan tempat-tempat hiburan itu dengan baik,” katanya.(rz/emy)
Sumber: Eramuslim