SURIAH (Arrahmah.com) – PBB melaporkan pada Selasa (11/6/2019) bahwa karena pemboman besar-besaran di barat laut Suriah yang meningkat sejak April, lebih dari 300.000 warga sipil harus mengungsi di kamp-kamp dekat perbatasan Turki.
Pernyataan itu muncul di tengah meningkatnya korban tewas di Idlib yang menyaksikan 25 warga sipil terbunuh oleh serangan rezim. Menurut pernyataan tertulis yang dibuat oleh salah satu organisasi PBB, Program Pangan Dunia (WFP), kekerasan menyebabkan hambatan bagi operasi kemanusiaan ke wilayah tersebut, lansir Daily Sabah (12/6).
Pernyataan itu juga mengatakan WFP dan para mitranya harus menghentikan distribusi bantuan kemanusiaan mereka di wilayah itu, dan menambahkan bahwa 7.000 orang yang tinggal di Hama utara, dekat Kastil Madik, belum terjangkau sejak Mei.
Meskipun sulit beroperasi di wilayah tersebut, PBB masih berusaha menjangkau warga sipil, dan konvoy kemanusiaan terbaru dari organisasi tersebut dikirim ke wilayah itu pada Selasa. Sekitar 33 truk bantuan kemanusiaan dikirim ke Idlib oleh PBB dari perbatasan Turki.
Pernyataan itu juga menggarisbawahi bahwa menurut gambar satelit, 18.000 hektar lahan pertanian telah terbakar di kawasan itu dalam beberapa minggu terakhir. PBB juga memperingatkan pada Senin bahwa ada risiko 2 juta pengungsi melarikan diri ke Turki untuk melarikan diri dari kekerasan serangan rezim.
“Ketakutan kami adalah jika ini terus berlanjut, dan jika jumlahnya terus melonjak, dan jika konflik meningkat, kita dapat melihat ratusan ribu, satu juta, dua juta, menuju perbatasan Turki,” Koordinator Kemanusiaan Regional PBB untuk Krisis Suriah, Panos Moumtzis mengatakan.
Berbicara kepada Reuters di Jenewa, Moumtzis mengatakan: “Kami melihat serangan yang benar-benar menargetkan -atau berdampak pada- rumah sakit dan sekolah di daerah sipil, di daerah di mana ada populasi dan daerah perkotaan yang benar-benar tidak boleh diserang menurut hukum kemanusiaan internasional.
“Idlib adalah kantong oposisi terakhir di Suriah. Populasi sebelum perang sebesar 1,5 juta telah membengkak menjadi sekitar 3 juta setelah ditetapkan sebagai zona de-eskalasi di bawah kesepakatan Astana yang dicapai antara Turki, Rusia dan Iran pada Mei 2017 untuk membuka jalan bagi solusi politik permanen di Suriah. (haninmazaya/arrahmah.com)