ANKARA (Arrahmah.com) – Merve Kavakci Islam terpilih ke dalam parlemen pada tahun 1999, tetapi kemudian ia dicegah untuk mengambil sumpah parlemen hanya karena dia mengenakan jilbab. Kemudian partai politik Kavakci, Partai Kebaikan (Fazilet Partisi), ditutup karena dinilai melanggar pasal konstitusi yang sekular dan kewarganegaraan Turkinya dicabut. Pemerintah Turki mengeluarkan pelarangan bagi Kavakci untuk tidak terlibat dalam perpolitikan selama lima tahun.
Saat ini, penulis berusia 43 tahun, dosen di George Washington University, serta penulis buku “Politik Jilbab di Turki: Pembacaan Pascakolonial”, menyesalkan bahwa masalah perempuan yang mengenakan kerudung di parlemen masih belum terpecahkan di Turki.
“Semua pihak di negara itu akhirnya harus membahas bersama isu kerudung ini,” kata Kavakci pada konferensi Yayasan SETA di Washington pekan lalu.
Di Ankara, pendukung jilbab dicatat bahwa partai yang berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), hanya mengajukan satu perempuan yang mengenakan khimar di antara 78 kandidat perempuan yang masuk ke dalam pemilu tanggal 12 Juni mendatang.
Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengakui pemerintahnya telah gagal untuk mengakhiri “ketidakadilan”. Pada aksi demonstrasi AKP di Istanbul pekan lalu, ia mengulangi janjinya untuk mengatasi masalah tersebut.
“Dengan kehendak Allah, pintu-pintu parlemen akan terbuka bagi mereka (perempuan yang mengenakan khimar) dan mereka akan melanjutkan perjuangan mereka di sana.”
Beberapa analis, seperti Sarah Fischer dari American University, yang telah meneliti masalah ini di Turki selama bertahun-tahun, menyatakan perempuan yang memakai kerudung di Turki masih menghadapi diskriminasi yang sangat besar ketika mereka mencoba untuk hidup normal.
“Kerudung itu membuat lebih sulit bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, dan berinteraksi sosial.”
Sementara itu, Neslihan Cevik, profesor di Institute for Advanced Studes in Culture, Virginia University, membuat pandangan yang berbeda.
Awalnya, kata Cevik, larangan jilbab ini dipandang sebagai sebuah praktek untuk menyelamatkan perempuan dari jeratan tradisi dan larangan kali ini bertujuan untuk “menyelamatkan” bangsa dari “fundamentalis”.
“Ketika kita melihat Turki hari ini, bagaimanapun, kami meminta mana korban tak berdosa dari tradisi dan fundamentalis?” SETimes katanya.
Dia berpendapat perempuan muslim yang mengenakan kerudung serta masih mempedulikan fashion, masih sempat berolahraga di gym gaya berpakaian mereka, serta membuka asosiasi perempuan Muslim untuk mempromosikan kesetaraan gender, tentu tidak dapat digambarkan sebagai korban atau fundamentalis yang akan mengambil alih negara sekuler.
Cevik percaya, dalam menghadapi pemilu mendatang, bahkan partai oposisi sekuler utama, CHP, sudah lebih simpatik terhadap pakaian khas bagi perempuan muslim ini.
“Jika CHP bisa memperlihatkan kesungguhan dari upaya ini, maka hal ini secara signifikan akan memberikan kontribusi pada normalisasi khimar di Turki,” tambahnya.
“Namun, normalisasi juga memerlukan penghapusan larangan dalam jangka panjang.” (althaf/arrahmah.com)