KARNATAKA (Arrahmah.id) – Hiba Sheikh, yang sedang menyelesaikan ujian kelulusan di provinsi selatan India Karnataka tidak dapat ikut dalam sesi ujian praktik tahunannya bulan lalu, karena otoritas perguruan tinggi menolak untuk mengizinkan siswa mengenakan jilbab atau hijab.
“Ujian internal saya dilakukan pada 3 Maret. Otoritas perguruan tinggi mengatakan untuk melepas jilbab dan kemudian datang ke perguruan tinggi. Tapi saya tidak setuju dengan itu,” katanya, dilansir Anadolu Agency pada Ahad (3/4/2022).
Dia mengatakan bahwa merujuk pada perintah pengadilan Tinggi Karnataka yang diumukan pada 15 Maret, yang berisi larangan mengenakan jilbab di ruang kelas, maka otoritas perguruan tinggi telah mencegah gadis-gadis Muslim memasuki kampus dengan jilbab.
Langkah ini memengaruhi pendidikan gadis-gadis Muslim di seluruh negara bagian, yang dikenal sebagai ibu kota sains India, karena menampung banyak institusi yang terkait dengan teknologi informasi, elektronik, dan luar angkasa.
Kantor berita nasional India Press Trust of India telah melaporkan bahwa 40 siswi Muslim dari distrik Udupi Karnataka tidak dapat mengikuti ujian pra-universitas.
“Saya khawatir dengan pendidikan saya. Ujian sedang berjalan dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Ini mengkhawatirkan setiap siswa karena itu terjadi pada akhir tahun ajaran. Tidak mengikuti ujian berarti kehilangan satu tahun,” kata Hiba Syeikh.
Pengadilan telah memutuskan bahwa “mengenakan jilbab oleh wanita Muslim tidak menjadi bagian dari praktik keagamaan yang penting dalam keyakinan Islam”. Putusan itu muncul menyusul petisi yang diajukan oleh wanita Muslim yang dilarang menghadiri kelas karena jilbab mereka.
Masalah ini mengemuka ketika siswa Muslim berhijab dilarang memasuki ruang kelas mereka di sebuah perguruan tinggi negeri di distrik Udupi di Karnataka pada Januari lalu. Selanjutnya, isu tersebut menyebar ke institusi lain di Karnataka.
Hiba Syeikh tidak sendiri. Beberapa siswa yang mengenakan jilbab mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa otoritas perguruan tinggi tidak mengizinkan mereka untuk mengikuti ujian.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Ramzaan Khan, ayah dari Muskaan Khan yang telah menjadi simbol perlawanan untuk melindungi hak berhijab, mengatakan bahwa putrinya tidak dapat mengikuti ujian tahunan.
“Saya bertemu dengan administrasi perguruan tinggi beberapa kali dan meminta untuk mengizinkannya mengikuti ujian dengan mengenakan jilbab. Permintaan kami tidak ditanggapi dan tidak ada pilihan lain untuk putri saya selain melewatkan ujian,” kata Khan.
Pada bulan Februari, sebuah video yang beredar luas di media sosial menunjukkan Muskaan, seorang mahasiswi berjilbab dilecehkan oleh gerombolan pria dengan selendang safron – warna yang dianggap sebagai simbol Hindu, tetapi juga terkait dengan Partai Bharatiya Janata (BJP), sayap kanan yang berkuasa.
“Dia (Muskaan) merasa tidak enak karena perguruan tinggi tidak menyetujui permintaan kami tentang mengikuti ujian dengan berjilbab,” kata Khan, meratapi putrinya kehilangan satu tahun pendidikannya.
Aktivis mengatakan larangan hijab oleh pengadilan telah berdampak buruk pada pendidikan gadis-gadis Muslim di wilayah tersebut.
“Dampaknya sangat buruk. Banyak siswa yang tidak mengikuti ujian dan yang menyedihkan adalah sampai April, banyak ujian dijadwalkan dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda kelonggaran,” kata Asma Zehra, ketua penyelenggara Sayap Wanita Dewan Hukum Pribadi Muslim Seluruh India, badan payung tertinggi para cendekiawan Islam.
Tidak hanya berhenti disitu, namun otoritas pendidikan bahkan menskors para guru yang mengizikan siswi Muslim mengikuti ujian dengan mengenakan jilbab.
Penyiar berita lokal Indian Today mengatakan tujuh guru di distrik Gadag negara bagian itu diskors karena mengizinkan siswi mengenakan jilbab saat mereka mengikuti ujian kelas 10.
Menurut Zehra, manajemen perguruan tinggi seharusnya menunggu beberapa saat agar pendidikan anak perempuan tidak terpengaruh.
“Setidaknya mereka bisa memberikan tenggang waktu satu tahun sehingga orang tua dan siswa berada dalam posisi yang lebih baik untuk memutuskan, perguruan tinggi mana yang akan dipilih untuk pendidikan,” katanya.
Dia juga menambahkan bahwa, “pendidikan adalah satu-satunya harapan untuk dapat bertahan hidup di zaman sekarang, dan jika Anda melarang mereka dan memaksa mereka untuk tidak memakai jilbab, itu tidak lain merupakan mayoritarianisme” (agenda politik yang menyatakan bahwa suatu mayoritas dalam populasi merupakan kelompok utama dan berhak membuat keputusan yang berpengaruh bagi seluruh masyarakat -red).
Hiba Sheikh mengatakan sekarang satu-satunya harapan yang tersisa adalah Mahkamah Agung, di mana mahasiswa dan kelompok Muslim telah menentang putusan Pengadilan Tinggi Karnataka.
BJP yang mengatur negara bagian, bagaimanapun, mengatakan para siswa harus mengikuti perintah pengadilan.
“Tidak ada yang bisa mempertanyakan perintah Pengadilan Tinggi. Para siswa harus mengikutinya … dengan tidak hadir dalam ujian, itu berarti mereka (siswa) tidak tertarik dengan pendidikan itu sebabnya, mereka melakukannya,” kata Yashpal Suvarna, seorang pemimpin lokal BJP. (rafa/arrahmah.id)