SURIAH (Arrahmah.com) – Dingin masih menggigit, ketika sehabis shalat Subuh saya dan Ust. Umar meniti tangga menuju lantai tujuh, bagian paling atas dari “apartemen” ini. Kegelapan lorong dan tangga kami lalui hanya tersingkap oleh screen HP yang kami bawa. Senter? Jelas ada, tapi siapa yang mau ambil risiko pancaran cahayanya menarik perhatian pilot-pilot Bashar Asad, atau tentaranya yang stand-by dengan peluncur roket di pegunungan kanan dan kiri kami?
Tiba di lantai tujuh, kami harus bersabar menunggu sinyal menyapa HP. Bahkan, saking lamanya, kami coba untuk restart. Alhamdulillah, selang sesaat HP kami bersaut-sautan menandakan notifikasi pesan-pesan yang masuk. Mumpung saat itu di Indonesia jam 8-9 pagi, kami segera konfirmasi banyak hal ke HASI Jakarta. Mumpung masih di awal jam kerja, masih semangat!
Kami menyampaikan informasi sepotong demi sepotong. Tentang kondisi dan keadaan kami, tentang pertama kali praktik dengan pasien seorang relawan muda dari Semenanjung Arab, dan musyawarah dengan penanggungjawab klinik terkait program kemanusiaan kami di hari-hari berikutnya, selama tiga pekan kami bersama mereka.
Saya bersama Ust. Umar duduk berimpitan di anak tangga. Sempit untuk kami berdua, membuat suhu tubuh kami saling menghangat. Baik saya maupun Ust. Umar, terus berkoordinasi dengan Jakarta via chat. Selain dengan teman HASI di Jakarta, saya tidak mau tahu dengan siapa lagi Ust. Umar chatting. “Saat chatting, screen HP itu jadi wilayah privasi,” prinsip saya. Tiba-tiba Ust. Umar berhenti mengetik. Ia menengadahkan tangan dan khusyuk memuji Allah dan berdoa kepada-Nya. Saya tidak tahu—dan segan menanyainya—apa yang sedang terjadi.
Ternyata, sampai di kamar saya baru tahu. Sang istri telat datang bulan. Dan, kami semua pun mendoakan semoga Allah beri ia keturunan shaleh/shalehah. Ini mengingatkan saya kepada mas Angga Dimas, Sekjen HASI. Maret 2012 lalu, setelah menunaikan misi Global March to Jerussalem (GMJ) di Amman, Jordania, kami mampir ke Saudi untuk umrah. Setelah kami thawaf, ada kabar gembira: “Istri saya positif hamil, Ustadz,” katanya setengah berteriak girang. Dan, pagi ini selain berita Ust. Umar (kemungkinan) diberi keturunan, kami mendapat kabar sang bayi telah lahir. Mabruk!
Sebenarnya saya lebih suka mengirim berita di siang hari, saat sorot lampu tak begitu kentara. Seperti sore ini, ada laporan harian yang tadi pagi Subuh belum sempat kami kirim. Saya coba naik kembali, tanpa lupa berpamitan kepada anggota tim yang lain. “Dokter Herry, saya naik dulu, mau kirim daily report. Dari kemarin belum sempat kirim,” kata saya.
Sore ini pemandangan cukup terang, meski langit mendung dan beberapa kali suara halilintar menyalak. Seiring dengan irama rentetan senjata otomatis yang terdengar sejak siang tadi. Selain itu? Tentu saja dentuman bom dan roket dari tentara Asad.
Begitu HP dapat sinyal, beberapa pesan kembali masuk. Salah satunya dari teman pengelola media berita Islam online. “Mana kabarnya, bagi-bagi dong?” sapanya dalam chat. Hehe… hasrat siapa yang tak ingin berbagi kabar, namun kondisi membuat kami tak bisa mengirim berita selancar yang diharapkan. Selain itu, tumpukan informasi yang datang bertubi-tubi memerlukan waktu untuk memilih dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis.
Hujan turun, tak lama setelah notifikasi email di HP saya menandakan Message Sent. Sementara dentuman suara bom bertali berkelindan dengan suara guruh dan halilintar. Bagi saya, sebagai orang sipil, sulit membedakan suara guruh dan pesawat tempur. Padahal, SOP di sini, kalau ada keperluan di atas dan terdengar suara pesawat, harus segera turun. Dan sepertinya saya harus turun, ketika suara demi suara itu bertalu-talu. Toh, email sudah terkirim. Saatnya kembali ke “lubang perlindungan?”. [AY]
Tim Ketiga HASI, Suriah
(bilal/arrahmah.com)