GAZA (Arrahmah.com) – Setahun setengah setelah perang terakhir yang diluncurkan oleh “Israel” di Jalur Gaza, krisis kemanusiaan terus tumbuh di sana sebagai akibat dari pencemaran air, kurangnya energi dan tingkat pengangguran yang stagnan.
Pada Rabu (10/2/2016) lalu, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Wilayah Pendudukan Palestina (OCHA-oPT) meluncurkan pengajuan, dalam koordinasi dengan Otoritas Palestina untuk mengumpulkan dana sebesar 571 juta USD untuk layanan darurat di seluruh wilayah Palestina yang diduduki.
Humanitarian Response Plan (HRP), proyek pembiayaan payung yang telah berjalan selama 14 tahun, mencari dana dari donor internasional untuk program yang dijalankan oleh 63 badan PBB dan 144 LSM, yang mencapai 1,6 juta warga Palestina yang membutuhkan pendidikan, makanan, tempat tinggal, air bersih dan layanan perlindungan selama 2016, lansir Al Jazeera.
“Operasi kemanusiaan di wilayah Palestina yang diduduki adalah unik dibanding operasi lain di seluruh dunia,” ujar David Carden, kepala kantor OCHA-oPT PBB kepada Al Jazeera.
“Ini berasal dari dampak hampir 50 tahun pendudukan ‘Israel’.”
Sebagian besar bantuan akan menargetkan 1,2 juta warga Palestina di Jalur Gaza, lebih dari setelah dari total penduduk di wilayah yang terkepung. Margin terluas dari dana yang diajukan, sebesar 300 juta USD, akan pergi untuk membantu warga Palestina memenuhi kebutuhan makanan, 46 persen di antaranya adalah anak-anak.
1,7 juta lainnya untuk warga Palestina yang tidak memiliki akses ke air bersih di seluruh wilayah yang diduduki.
Sebanyak 1,5 juta orang telah kehilangan tempat tinggal atau beresiko mengungsi sebagai akibat dari bencana alam ulah manusia dan membutuhkan tempat tinggal. Hampir 950.000 orang di Gaza tinggal di rumah-rumah darurat.
Untuk makanan, PBB mengatakan warga Palestina harus diberikan paket bantuan, uang tunai untuk melakukan pembelian sendiri dan pembangunan infrastruktur untuk industri pertanian.
Menurut Bo Schack, direktur operasi UNRWA di Gaza mengatakan bahwa bukan karena kurangnya sumber daya, seperti halnya di daerah lain di wilayah di mana program makanan PBB beroperasi. Penurunan ekonomi dan pembekuan gaji di seluruh Gaza membuat banyak keluarga Gaza tidak mampu untuk membeli makanan dari pasar.
Dia menambahkan bahwa kekurangan gizi di Gaza bukan karena kurangnya akses ke makanan, seperti di Suriah atau daerah lainnya di mana PBB beroperasi. Sebaliknya, itu ada hubungannya dengan angka kemiskinan yang terus melonjak.
Pengangguran di Gaza adalah yang tertinggi di dunia, menurut laporan Bank Dunia pada 2015. Laporan yang sama menemukan bahwa produk domestik bruto Gaza turun 50% di tahun setelah blokade “Israel” atas Jalur Gaza pada tahun 2006.
Kerugian ini diperparah oleh tiga perang besar yang dilancarkan “Israel” di Gaza dalam tujuh tahun terakhir yang terakhir pada 2014 yang meninggalkan banyak warga Palestina tanpa air bersih dan listrik.
Satu-satunya energi di Jalur Gaza saat ini berasal dari sebuah pembangkit listrik. Rumah sakit yang sangat menderita karena kurangnya daya. Alat-alat medis yang hancur akibat dari pemotongan daya, terlalu mahal untuk diganti.
Medhat Abbas, Direktur Jenderal Departemen Kesehatan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa rumah sakit umum Gaza penuh sesak.
“Para pasien menunggu di ruang gawat darurat. Situasi sangat menyedihkan,” ujar Abbas.
“Enam puluh persen dari staf rumah sakit belum menerima gaji mereka untuk bulan ini. Dokter frustasi dan tertekan karena mereka tidak mendapatkan gaji dan mereka memiliki kebutuhan yang tidak dapat mereka penuhi lagi.”
Pengajuan PBB tidak akan membahas masalah upaya rekonstruksi di Gaza yang telah terhenti. Badan-badan bantuan memutuskan untuk menghapusnya setelah dua pertiga dari negara donor tidak menghormati komitmen mereka untuk Gaza pada tahun lalu.
PBB memperkirakan bahwa 18.000 rumah hancur atau rusak parah dalam perang “Israel” di Gaza pada tahun 2014, yang membunuh sedikitnya 2.251 warga Palestina dan 72 warga “Israel”. (haninmazaya/arrahmah.com)